Andini, 25 Tahun. Karyawati.
Merasa kosong, kelelahan berat, paranoid, mood swing, merasa tak berharga, tak dicintai, ketakutan berlebihan akan penolakan, kehilangan minat terhadap sesuatu yang dianggap menyenangkan sebelumnya, mengabaikan kualitas diri.
Tidak ada satupun tanda-tanda depresi diatas yang tidak kualami. Semua begitu jelas. Bahkan rasanya makin parah dari tahun ke tahun. Aku bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kota Manado. Namun ada satu hal yang bisa kubanggakan dari diriku. Hebatnya, aku sangat ahli dalam menyembunyikan emosi.
Jika kau berbicara langsung kepadaku, kau sama sekali tak akan menyangka bahwa aku adalah seorang pengidap penyakit mental akut. Dari luar, semuanya terlihat baik-baik saja. Malah kau akan mendapati kesan bahwa aku adalah sosok yang kuat dan menyenangkan.
Tapi itu hanyalah topeng. Agar orang-orang tidak menganggapku aneh, melankolis dan sebagainya. Saat topeng itu dibuka, aku adalah seseorang yang moody, sensitif, dan emosional bahkan terhadap hal-hal yang dianggap sepele oleh orang lain sekalipun.
Yah meskipun kuakui, pekerjaanku yang selalu bersentuhan dengan dunia sosial dan berinteraksi dengan orang-orang baru ini sedikit banyak membantuku dalam mengatasi depresi yang kadang datang tanpa permisi. Disamping itu, profesionalitas dunia kerja tidak akan membenarkan jika aku bersikap jujur terhadap kondisiku. Meskipun rasa bahagia itu sebenarnya masih semu dan hanya berlaku di jam-jam kerja.
Saat pulang ke rumah, aku kembali menjadi diriku yang rapuh, baperan, dan parnoan. Aku juga sering melanggar janji temu dengan psikiater kepercayaanku karena jam kerja yang terlalu padat. Jadinya, beberapa terapi sering aku lewatkan begitu saja. Tentu saja itu memperburuk kondisi mentalku.
Aku tak tau sejak kapan persisnya aku mulai mengalami hal ini. Tapi kalau diingat-ingat sepertinya itu mulai saat aku duduk di bangku kelas tiga Smp. Waktu itu memang banyak masalah yang merundungku.
Orang tua yang sering bertengkar, ayah yang ringan tangan, kematian tante yang paling kusayangi dan selalu peduli padaku. Belum lagi sesosok provokator kelas yang membenciku tanpa alasan dan selalu menyebarkan rumor yang tidak-tidak tentangku membuat hampir seisi kelas percaya dengan fitnahnya itu, membuatku muak dengan keadaanku saat itu.
Aku benci berada di rumah, tapi aku juga tak ingin berada di sekolah. Aku merasa tidak ada satupun lingkungan yang mau menerimaku. Di titik itu aku sering menangis dan merenung.
Kekerasan fisik dan verbal yang sering terlontar begitu saja dari ayahku tanpa sadar membuat alam bawah sadarku membenarkan semua itu.Kata-kata seperti "kau bodoh!!" "pembangkang" "anak sial!" dan kata-kata kurang mengenakkan lainnya terus berputar di kepalaku. Membuat sedikit demi sedikit kepercayaan diriku memudar. Aku merasa seperti seorang penjahat kota yang dibenci orang-orang dan tak pantas hidup dengan layak.
Sedangkan ibuku, bukannya tak memperhatikan ku, tapi dia juga sudah disibukkan dengan mengurus adik kecilku dan masalahnya dengan ayahku. Aku merasa benar-benar sendiri. Diwaktu-waktu kritis itu pula, aku mulai merasa hidupku begitu hampa, kosong tak bermakna, aku lebih sering memendam emosi daripada menunjukkannya pada orang-orang. Baik itu emosi senang, sedih, menangis, atau euforia apapun itu. Kau tak akan mendapatkannya dariku.
Satu-satunya yang bisa kau lihat dariku adalah wajah gadis lima belas tahun dengan ekspresi datar dan tak terprediksi. Yah, aku sangat ahli dalam hal itu. Aku mulai kehilangan minat menulis, menggambar, bernyanyi, bahkan nonton tv. Mungkin kau berfikir, aku mendramatisir. Tapi inilah yang terjadi padaku.
Sampai saat ini aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku merasa benar-benar bahagia. Menelisik masa laluku yang lebih jauh, kau hanya akan mendapati Andini kecil yang sering dipukuli ikat pinggang oleh ayahnya hanya karena merengek ingin keluar bermain dengan teman-temannya.
Bagitulah persepsi mentalku terbentuk. Mendekati usia remaja, phobia sosial mulai muncul. Aku juga tak tau persis apa penyebabnya. Mungkin tahap lanjut dari dapresi, entahlah..aku merasa sudah sangat sering dipermalukan. Membuatku takut berinteraksi dengan dunia luar, takut bertemu orang-orang baru. Takut memulai percakapan, sehingga aku terus berada di zona nyaman. Rumah, satu-satunya tempat paling aman yang kumiliki.
Aku merasa, tidak terlalu buruk mengisolasi diri dari dunia luar daripada dipermalukan di depan umum. Pikirku saat itu. Beberapa kali pula aku berpikir untuk mati. Dan lucunya, aku juga manusia yang paling takut mati. Mungkin ini yang dikatakan pepatah lama "hidup segan, mati tak mau" dan aku masih mengalaminya sampai saat ini.
Dan beruntungnya, aku tak pernah berani melakukan percobaan bunuh diri. Niat mati itu hanya terlintas dikepalaku. Berulang kali menawariku. Tapi terlalu takut untuk kulakukan. Bunuh diri juga bukan kematian yang layak. Setidaknya aku masih punya iman walaupun seujung kuku.
Aku sempat bangkit perlahan dari keterpurukan. Tapi kondisiku kembali memburuk karena patah hati. Yah, patah hati..dua kata yang sederhana namun perasaannya sulit dijabarkan. Bagiku, patah hati adalah cobaan hidup paling mematikan.
Dan hal itu tak hanya kualami satu dua kali. Tapi berkali-kali. Saat usiaku menginjak duapuluh dua tahun aku mengalami patah hati dengan perasaan sakit yang paling mengerikan. Berbulan-bulan aku mengurung diri di kamar. Tentu saja aku tau, itu akan memperburuk kondisiku. Belum lagi saat itu aku masih kuliah dan jauh dari orang tua.
Membuatku semakin rapuh. Seolah aku kembali sendiri dan tidak berharga. Semenjak patah hati yang paling dahsyat itu. Aku memutuskan untuk tidak ingin jatuh cinta dan berharap lagi. Sampai sekarang. Meskipun seseorang pernah datang untuk menyatakan perasaannya padaku.
Aku menolak. Tentunya dengan cara halus. Kalau kau tanya bagaimana perasaanku soal cinta, aku akan memilih kata-kata seperti hambar, hamoa, kosong dan semacamnya. Aku tak mau lagi berurusan dengan perasaan rumit itu. Entah butuh waktu berapa lama aku akan seperti ini. Mungkin sementara, atau selamanya. Entahlah. Aku hanya tak ingin kembali terpuruk dan dibuat payah oleh perasaanku sendiri.
Yah, begitulah ceritaku bersama teman setia yang menemaniku selama satu dekade terakhir. Dan ajaibnya, keluargaku tidak pernah tau, kalau aku punya psikiater pribadi. Tidak. Aku tidak ingin mereka prihatin dengan kondisiku.
Untuk orang-orang di luar sana yang merasa terpuruk dan terabaikan, kamu gak sendirian. Pesanku, tetaplah kuat meski dunia berkali-kali menjatuhkanmu. Teruslah berjuang dan berdoa untuk masa depanmu. Jalani apa yang kau suka. Cobalah untuk tidak peduli apa kata orang lain. Dan yang terpenting, jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu dengan sia-sia. Karena kamu juga berharga! :')
-Manado, 22/12/19-

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Hati
Non-Fictionrangkaian kata-kata dari batin yang bicara, dan bibir yang terlihat bungkam..siapa tau, kau juga pernah merasakan hal yang sama.