"Allah berfirman dalam surah An-Nur ayat 22, 'Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'."
Kyai Anshar menjeda kalimatnya sejenak. Mengatur napasnya.
Sedangkan seisi masjid mendengarnya dengan khusyuk. Seolah menolak untuk kelewatan satu kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu.
"Memaafkan adalah pekerjaan yang berat memang. Saya tidak memungkirinya. Tapi cobalah kalian pikir sekali lagi sebelum menolak untuk tidak memaafkan. Kalau Allah Swt., tuhan seluruh alam, ampunannya bisa seluas langit dan bumi, kenapa kita yang makhluk tidak berdaya tanpa-Nya tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain?"
"Jika ada yang melakukan kesalahan, maafkanlah. Mereka juga manusia. Manusia selalu berbuat salah. Tidak ada yang sempurna. Semoga kalimat-kalimat tadi tidak hanya sampai di telinga saja, tapi juga hinggap di hati, ya. Sekian dari saya. Wabullahi taufiq wal hidayah. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ..."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ..." seru seisi masjid kompak.
Laki-laki tua itu memberi kode pada Ustadz Hanif untuk menggambil alih para santri. Sementara beliau langsung beranjak meninggalkan masjid ini.
"Baik, para santri yang ustadz sayangi, setelah ini kalian mandi, sarapan, murajaah pagi di aula seperti biasa, olahraga, lantas bebas beraktivitas. Khusus santriwan yang akan pergi ke pertandingan, diharapkan untuk bersiap-siap dari sekarang, ya," pesan Ustadz Hanif.
"Na'am, Ustadz!"
"Silakan kembali ke kamar masing-masing. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ..."
Usai menjawab salam, secara
teratur para santri keluar dari masjid. Dimulai dari para santriwan, kemudian dilanjut dengan para santriwati yang langsung menuju ke areanya. Tanpa banyak lirik ke arah kerumunan santriwan.Sejak keluar dari masjid pula Haikal sibuk melirik ke arah Alfa yang pandangannya terlempar ke kerumunan santriwati.
"Mencurigakan," gumam Haikal pelan.
Raffi menoleh ke arah sahabatnya, bertanya, "Siapa yang mencurigakan?"
"Tuh, si Alfa." Telujuk Haikal mengarah ke bocah itu, yang berada paling pinggir.
"Ah, ribet, kalian, mah!" Faris langsung beringsut mendekati Alfa. Menggeser posisi Yusuf yang berada tepat di sebelah Alfa, lantas merangkul anak itu. Berdeham untuk mengalihkan fokusnya. "Kayaknya ada yang lagi fall in love, nih."
"Widih, sama siapa, tuh, Fa? Kasih taulah, gak bakal kita tikung, kok," timpal Luqman yang memancing tawa teman-temannya.
"Apaan, sih? Aku lagi nyari Aliya, sahabatku." Tepat setelah kalimat itu sempurna terucap, Alfa refleks menutup mulutnya. Kok, bisa keceplosan, sih? keluh Alfa dalam hati. Menyesal sudah berkata demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Redup {SELESAI}
Teen FictionPercayalah, ini mungkin adalah kisah paling rumit yang pernah kalian temui. Namanya Alfa, remaja laki-laki yang bahkan baru menginjak bangku sekolah menengah. Ia adalah laki-laki kuat yang tumbuh dengan perlakuan kasar dari kakeknya. Ia adalah lak...