Bunda luruh diantara makam itu. Punggungnya bergetar. Yumna memeluknya. Berusaha menenangkan dengan rangkulan. Ikut merasakan luka dan duka bunda. Yumna ikut meluruhkan air matanya. Rasanya sesak. Melihat orang yang dicintainya telah meninggalkan lebih dulu. Yumna masih tak percaya dan belum bisa menerimanya. Lalu bagaimana dengan bunda? Dia ditinggalkan oleh suami dan anaknya sekaligus. Yumna tak mengerti, bagaimana sepi menggerogoti hatinya. Bagaimana luka merasuk kedalam jiwanya. Bagaimana kenangan seperti menghantuinya.
Bunda sendirian. Di dunia ini dia hanya memiliki suami dan anaknya. Afandhi anak tunggal. Anak yang disayang dan dibanggakan. Pergi meninggalkannya lebih dulu. Bukankah lengkap derita itu?
"Yumna, Bunda tidak apa-apa. Ayo kita tabur bunga dan mendo'akan mereka," Ajak Bunda.
Yumna mengangguk. Melepaskan tangan. Memilih mundur. Memberi jarak. Bunda mengambil keranjang bunganya. Menaburkan silih berganti dengan air. Antara pusara Afandhi dan suaminya. Semuanya rata. Penuh dengan bunga dan aroma harum.
Yumna melakukan hal yang sama. Meletakkan buket bunga pada makam Afandhi kemudian memberi satu tangkai bunga mawar dan krisan di makam Ayahnya.
"Ayah, bahagia bersama Afandhi ya ... aku sudah tidak apa. Aku sudah menerimanya. Ikhlas. Semua yang terjadi, aku akan mencoba melupakannya. Tidak, aku hanya perlu mengikhlaskan. Itu sudah cukup." Suara Bunda mulai serak. Yumna masih diam. Memberi kesempatan untuk wanita itu melanjutkan percakapan.
"Afandhi, kamu pasti sudah bahagia bersama ayahmu bukan? Sekarang Bunda ajak Yumna. Gadis kecilmu. Dia sudah besar dan tambah cantik. Kamu pasti akan menyukainya. Nak ... Bunda sudah menerimanya. Berbahagialah. Jangan lupa siapkan tempat untuk bunda di sisi kalian. Supaya ketika bunda menyusul kalian, Bunda tahu kalian akan menjemput bunda."
Bunda menghela napas. Mengusap pipi. Membersihkan air Mata yang berjatuhan.
"Berkat kalian ... bunda sudah tidak takut untuk meninggalkan dunia ini. Ada kalian di sana. Permata hati Bunda. Bunda akan melanjutkan hidup dengan baik. Tapi Bunda mohon ... ketika waktunya nanti tiba, kalian jemput Bunda dengan senyuman. Karena Bunda pasti merindukan kalian."
Bunda mengusap kedua nisan itu dengan lembut. Kedua tangannya mengulur. Sesekali isak tangis terdengar.
Yumna hanya melihat. Tak berani memulai kontak. Ia takut, ketika ia mendekat, memangkas jarak, kesedihan Bunda pasti menyapanya. Ia hanya tak berani---karena Bunda butuh kekuatan Tapi Yumna tak memilikinya.
"Yumna, kalau mau bicara silahkan. Bunda ke depan dulu."
Yumna mengangguk. Mengerti. Bunda butuh tempat sendiri. Untuk melupakan sebuah luka yang menganga tidaklah hal yang mudah. Yumna tak akan menghalangi Bunda untuk mengambil waktunya.
Bunda mengambil keranjang. Mengusap pipi Yumna kemudian berdiri. Memberi senyum menenangkan lalu berjalan pergi. Angin silih berganti menggeliat pada bajunya. Menghela kerudung putih yang tidak dipasang secara sempurna. Bunda menjauh. Tubuhnya seperti mengecil dan hilang.
Yumna mengalihkan atensi. Pada batu nisan bertuliskan Sulaiman Abdillah. Lelaki yang dicintai Bunda. Lelaki pertama yang memberi cinta pada kekasihnya. Yumna menatap dalam dan memberi senyuman. Seakan pusara itu adalah orang sebenarnya.
"Om, ini saya. Yumna. Kekasih putra semata wayang Om. Dia pasti sudah bercerita kan di sana? Apakah saya harus menjelaskan lebih tentang identitas saya?" Yumna terdiam sejenak. Berusaha merangkai kata. Tadi ucapannya sudah melantur.
Yumna tersenyum kecil. "Maaf, tadi omongan saya kemana-mana. Saya terlalu gugup. Saya hanya ingin menyapa. Semoga om bahagia di sana."
Yumna beralih menatap nisan Afandhi. Kesedihan semakin menyeruak. Yumna tak mampu menahan air matanya. Isaknya terurai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Genç Kurgu"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...