Hanum mendengar ponselnya berbunyi ketika merapikan kertas-kertas yang ada di atas meja kerjanya. Meraih ponsel, dia langsung mengangkat panggilan begitu tahu yang meneleponnya Aksa.
"Ya, Sa?"
"Makan siang bareng, yok?" Selain suara Aksa, terdengar juga suara klakson dan deru kendaraan. Aksa sepertinya tengah berada di perjalanan.
Senyum Hanum merekah antusias. "Kalo kamu yang bayarin, ayok!"
Tawa Aksa berderai. "Dasar!"
Hanum turut tertawa. Dia berdiri dan menyambar tas. "Aku tunggu di luar kantor."
"Oke."
Mematikan panggilan dan memasukkan ponsel ke tas, Hanum segera berjalan keluar dari ruangannya. Melewati koridor, dia berpapasan dengan Pak Dana.
"Ada apa, Num? Kok, buru-buru?" tanya Pak Dana, mengernyit cemas.
Hanum menyengir. "Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Cuma mau makan siang di luar," kepalanya mengangguk pelan ke Pak Dana sembari tersenyum, "permisi."
Pak Dana membalas senyum Hanum. Namun, ekspresi atasannya itu terlihat murung dan kecewa? Saat berada di luar gedung kantornya barulah Hanum sadar. Tadi pagi setelah rapat, Pak Dana sempat mengajaknya makan siang bersama di luar. Namun, Hanum menolak dan mengatakan dia ingin makan siang di kantor. Dan sekarang, Hanum justru hendak makan siang di luar bersama Aksa. Pantas saja Pak Dana terlihat murung dan kecewa.
Dahi Hanum mengerut. Bingung dengan diri sendiri. Kenapa dia menerima ajakan makan siang dari Aksa alih-alih Pak Dana?
-oOo-
"Hmmm... enak." Mata Hanum berbinar. Disendoknya Nasi Padang untuk kedua kali. Rasa campuran rempah-rempah yang begitu pas menari di lidahnya kembali. Menelan kunyahan, dia menatap Aksa yang mengaduk es teh di samping. "Kamu tahu warung Nasi Padang ini dari siapa?"
Aksa menelengkan kepala ke padanya. Senyumnya terbit, hingga lesung pipinya terlihat. "Coba tebak."
Hanum langsung menebak dengan keyakinan seribu persen, "Cakra?"
Aksa menggeleng. "Tebak lagi."
"Mama?"
"Bukan."
"Papa?"
"Bukan."
"Temen kantormu?"
"Bukan juga."
Hanum berpikir sejenak, lantas menjentik. "Bude Harina?"
Kali ini, Aksa terkekeh. Dia kembali menggeleng. "Nyerah?"
Hanum mendengus. Namun tak urung, dia mengangguk. Mencoba menahan tawa, Aksa berujar, "Mbak Ganita."
Hanum terperangah. "Emak?"
Aksa melipat tangan di meja panjang di depan disusul anggukan kepala. "Dia ngasih tahu aku pas lagi di acara pernikahannya Mbak Nisma."
"Wow! Obrolan kalian luas banget sampe ke warung Nasi Padang. Aku kok, nggak tahu? Pas itu aku di mana?"
"Kalo nggak salah lagi di kamar mandi," jawab Aksa, kemudian memandang Hanum. Rasa geli berkelebat di mata hitamnya. Perasaan Hanum menjadi tak enak. "Selain ngasih tahu aku tentang warung Nasi Padang ini, Mbak Ganita juga ngasih tahu aku tentang..."
Mendengar Aksa sengaja menggantung ucapannya, Mata Hanum detik itu juga membola dengan panik. "Apa? Ngasih tahu kamu tentang apa?"
"Aib kamu."
"Emak!" Hanum menjerit dan memutar badan ke depan. Dia mengubur wajahnya di kedua telapak tangan.
Kendati sudah bisa menduga Ganita telah membeberkan fakta-fakta memalukan tentang dirinya pada Aksa, dia masih tidak percaya saja. Lantaran Ganita biasanya tidak pernah membocorkan aib Hanum ke orang lain. Suara tawa Aksa terdengar menggelegak. Hanum tidak yakin dirinya setelah ini masih punya muka.
"Kata Mbak Ganita, Hanum itu kalo tidur sukanya ngiler sama dengkur."
Hanum melotot. Saat Aksa membuka mulut hendak berbicara kembali, Hanum cepat-cepat membekap mulut lelaki itu dengan satu tangan. Tindakannya berhasil membuat Aksa berhenti bicara.
Hanum memerhatikan sekeliling. Mengetahui ucapan Aksa tentang aibnya tadi tidak menarik perhatian pengunjung lainnya, dia seketika membuang napas lega. Aksa tak mencoba melepaskan tangan Hanum. Ketika mata mereka bertemu, lelaki itu menggerakkan tangan ke dalam saku kemeja hitamnya. Kemudian, mengeluarkan sebuah jepit rambut kecil berbentuk pita. Warnanya cokelat muda dan cokelat tua dengan motif tartan.
Walau simple, tapi terlihat manis.
Dengan mulut masih dibekap, Aksa memasangkan jepit tersebut ke rambut Hanum yang hari ini dibiarkan lurus tergerai. Hanum mengerjap kaget dan melepaskan tangannya dari mulut Aksa.
"Aku beli itu di salah satu outlet di mall pas lagi nemenin Cakra nyari kado buat pacarnya."
"Aku udah nggak cocok pake jepit rambut kayak gini, ya!" sahut Hanum sambil menunjuk jepit rambut yang tadi dipasangkan Aksa.
Dilihatnya Aksa mengamatinya dengan serius, lalu berujar, "Cantik."
Pipi Hanum langsung merona.
"Jepit rambutnya maksudnya yang cantik," tambah Aksa.
Rasa senang yang melingkupi Hanum praktis pecah. Bibirnya melengkung ke bawah. Sedangkan Aksa, terkekeh. Seharusnya Hanum ingat Aksa adalah orang yang menyebalkan.
Tersenyum puas, Aksa menunjuk pipi Hanum. "Ciyee, tadi pipinya merah."
Hanum menepis tangan Aksa sambil mendelik garang. "Nggak! Matamu aja yang salah lihat," elaknya.
Sebelah tangan Hanum meraba jepit di rambutnya. Aksa segera menurunkan tangan wanita itu. "Jangan dilepas. Paling nggak sampai kita selesai makan siang," pintanya, terselip nada penuh harap.
Namun, Hanum tak mengacuhkan. Tangannya yang tadi diturunkan Aksa, dia naikkan kembali. Saat hendak melepas jepit rambut, Hanum menyadari ekspresi Aksa berubah murung dan kecewa. Entah mengapa hal itu sangat mengusik benaknya.
Perlahan, Hanum menurunkan tangannya. "Aku lepas nanti, waktu nyampai di kantor."
Aksa mengukir senyum. Tersirat rasa senang dalam raut wajahnya kini. "Thank you."
-oOo-
Di dalam lift yang menuju lantai tempat ruangannya berada, Hanum mengamati pantulan dirinya di dinding di depannya. Dia terlihat lebih muda dengan adanya jepit pemberian Aksa di rambutnya. Hanum memegang jepit tersebut. Dia ragu untuk melepaskannya atau tidak. Pada akhirnya, dia menurunkan tangan. Memilih tidak melepaskannya.
Pintu lift terbuka. Pak Dana masuk dibuntuti Nikita. Lelaki itu terlihat terkejut sekaligus senang melihat Hanum. "Hanum?"
Hanum hanya mengangguk dan tersenyum ramah pada Pak Dana.
Nikita merangkul lengan Pak Dana ketika bersipandang dengan Hanum. Sebuah senyum puas tercetak di bibirnya. "Kita abis makan siang bareng di luar, Mbak. Kalo Mbak Hanum, dari mana?"
Hanum tersenyum kecut pada Nikita karena sedang malas bertemu dengan wanita itu. "Aku juga abis makan siang di luar."
Pak Dana menjauhkan tangan Nikita dari lengannya sementara pandangannya tertuju pada Hanum. "Saya kira kamu tadi ke restonya Brahma. Makannya saya ke sana sama Nikita karena dia minta ikut. Eh, ternyata nggak ada," tutur Pak Dana seolah tak ingin Hanum salah paham atas kedekatan dirinya dan Nikita.
Hanum melirik sekilas raut wajah Nikita yang berubah dongkol. "Oh, nggak. Saya tadi makan siang di warung Nasi Padang."
Nikita menatap ke arah rambut Hanum, tepatnya ke arah jepit rambut pemberian Aksa. Dia lantas tertawa mengejek secara terang-terangan. "Mbak Hanum mah, udah nggak cocok pakai jepit kayak gitu."
Sudut bibir Hanum berkedut mendengar ucapan kurang ajar tersebut. Namun, dia tidak ingin menanggapi karena hanya akan membuat dia lelah dan membuang-buang waktu.
"Masih cocok, kok," sahut Pak Dana. Dia mengamati Hanum, lantas tersenyum. "Hanum kelihatan lebih manis."
Mengabaikan wajah kesal Nikita, Hanum mencari-cari rasa senang yang kini seharusnya muncul karena telah dipuji begitu oleh Pak Dana. Namun, tak ada. Aneh. Biasanya, dia selalu merasa senang saat dipuji lelaki itu.
***
Yuhuuu... masih adakah yang nunggu cerita ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Loveisble | ✔️ (Sudah Terbit)
Romance(BEBERAPA CHAPTER TELAH DIHAPUS UNTUK KEPERLUAN PENERBITAN.) Hanum Banowati tak pernah menginginkan pernikahan semenjak kehilangan sosok lelaki yang dicintainya. Hidupnya cukup disinggahi sahabat, keluarga, pekerjaan, dan ... kenangan. Sementara Adh...