27

616 106 17
                                    

Sowon tersenyum cerah melihat pria di depan halaman rumahnya. Dia bertanya-tanya, apa yang menjadi alasan pria itu datang ke rumahnya. Mengajaknya jalan? Atau... entahlah, Sowon tak tahu. Dan ia tidak mau berharap lebih, takut jatuh.

Ia membuka pintu rumah dan berjalan ke arah pagar. Begitu mendengar suara pintu terbuka, Seokjin yang awalnya bersandar membelakangi pagar, langsung menghadap Sowon dengan senyuman. Senyumannya tidak bahagia, namun senyum yang terlihat dipaksakan. Itulah yang dilihat Sowon. Sowon pun agak ragu untuk tersenyum. Lama-lama senyumannya pudar, dan berubah menjadi wajah serius.

"Ada apa?" tanya Sowon bingung. Ia melihat tangan Seokjin yang ada di belakang tubuhnya. Ia curiga, tentunya tidak mau berharap. Curiganya bukanlah curiga yang positif, namun yang negatif.

Seokjin berdehem, sebelum akhirnya menunjukkan benda yang tadi ia sembunyikan itu dengan pergerakan pelan.

Ia tahu itu kertas apa. Warnanya putih agak kekuningan, kemudian dihiasi dengan pernak pernik dan tinta emas mengkilap. Jantung Sowon berpacu cepat. Bukan karena senang, malu atau apapun. Rasanya ia tak sanggup. Berarti, rencananya gagal?

"Ibu kami tidak setuju dengan perjodohan ini, tapi ayah kami berdua tetap mutlak ingin pernikahan diadakan," desis Seokjin ragu. Ia menunduk dan tak berani melihat ekspresi Sowon yang akan membuatnya merasa bersalah dan sedih juga.

"Ah, tidak apa-apa. Artinya rencana ku gagal ya?" tanya Sowon dengan suara sendu.

"Rencana?"

Ah benar juga, Sowon tidak mengatakan ini pada Seokjin. Sowon tersenyum dan menggeleng. "Bukan apa-apa." Ia mendongak menatap Seokjin yang juga menatapnya. Senyumnya bisa berbohong, tapi tidak dengan matanya. Ia dengan berat hati mengambil surat undangan itu dan memandangnya sejenak.

"Bukankah ini undangan pertunangan?" tanya Sowon.

"Kami hanya mengundang beberapa orang... aku meminta satu untuk mengundangmu."

"Kau akan menjalankan rencana awalmu?"

Seokjin mengangguk yakin. Namun, Sowon menggeleng pasrah. "Tidak perlu. Aku yakin kau hanya akan mempermalukan dirimu pada semua orang yang hadir. Lebih baik-"

Seokjin menggenggam tangan Sowon erat. Ia mengulum bibirnya dan menghela nafas berat. "Tolong jangan katakan itu."

"Kita berhenti saja," ucap Sowon.

Seokjin memandang Sowon kecewa. "Kau tidak mau mencoba?"

"Untuk apa mencoba lagi, Kim Seokjin? Kita tidak akan bisa bersama. Itu faktanya."

"Karena apa? Bisnis ayahku? Aku rasa ibuku sudah setuju saja kalau aku denganmu."

Sowon menunduk dan mencoba melepas tangannya yang digenggam oleh Seokjin. Namun Seokjin mempererat genggaman tangannya.

"Jangan. Aku mencintaimu, Sowon. Bukan Yongsun."

Sowon justru makin sedih mendengar itu. Ia menarik tangannya dengan kuat hingga terlepas. "Semoga kau bahagia, Kim Seokjin."

"Hanya denganmu aku bisa bahagia."

"Tidak."

"Sowon..."

"Hentikan, Seokjin."

"Sowon-"

"Cukup! Tidakkah kau lihat aku sangaatt senang menerima kabar ini?!" tanya Sowon dengan bentakan keras. Pasti tetangganya mendengar. Ini akan sangat amat memalukan.

"Tidak." Seokjin menggeleng dan tangannya meraih pipi Sowon. Ia memandanginya. "Kau menangis."

Sowon menepis tangan Seokjin. "Ya Kim Seokjin! Jangan jadi anak durhaka!"

sculpture | sowjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang