Bukankah semua masih sama seperti dulu? Bahkan aku tak terlalu peduli perubahan apa yang terjadi dengan gedung seklah di depanku saat ini. Hey, apa itu penting? Bahkan kenangan-kenangan di gedung itu pun lambat laun mulai enyah dari otakku. Bukannya melupakan, aku hanya mencoba membuang hal-hal atau kenangan yang tidak terlalu penting untuk hanya sekedar mengisi memori otakku. Bukankah lebih baik aku mengingat hal yang penting?
“Nggak mau turun barang sebentar aja?”Cita masih duduk di jok penupang di sampingku sesaat setelah kuhentikan mobil ini.
“Buat apa?”
“Seenggaknya kakak juga alumni di sekolah ini, itu pun kalo aku nggak salah ingat sih,”katanya mulai menyindirku. Aku langsung menatapnya jengkel sebelum dia kembali berbicara yang lebih menyebalkan dari perkataannya barusan.
“Kuharap kamu salah ingat Cit, udah sana kakak buru-buru,”
“Apa salahnya turun sebentar dan mengobrol dengan guru sekedar untuk bernotalgia? Bukankah itu menyenangkan?”tanyanya tanpa ada tanda-tanda akan segera beranjak dari kursi penumpang.
“Bahkan kakak nggak yakin mereka tau siapa kakak, mending sekarang kamu turun dan belajar, nggak usah ngurusin orang lain,”katanya.
“Minimal mereka ingat sosok cewek aneh yang hobinya ngandang di perpustakaan,”katanya. JLEBB. Kenapa aku bisa punya sepupu macam Cita sih? Dan lagi kenapa orang-orang seperti ini yang hobi ngurusi urusan orang lain tak enyah saja dari muka bumi?
Kembali ke kota ini mungkin lebih layak disebut kembali ke kehidupan nyata yang terkadang menyebalkan. Bukan berarti kehidupanku selama di luar negeri bukan kehidupan nyata, hanya saja terkadang aku lebih nyaman hidup di sana karena tak ada yang akan bertanya kenapa aku sedang sendirian makan di kafe, tak ada yang menanyakan kenapa aku tidak pergi saat malam minggu tiba, atau tidak ada yang menanyakan kenapa aku selalu sendirian kemanapun.
Oke. Jangan berfikir bahwa aku tidak mencintai Negara asalku, aku sangat bangga denngan Indonesia dan Jakarta tempat di mana aku lahir dan besar. Hanya saja aku terlalu nyaman dengan kehidupanku di sana yang tak diiusik oleh orang lain, yang aman-aman saja tanpa aku harus pusing-pusing menghadapi pertanyaan orang yang menurutku taka tut dan tak penting untuk ditanyakan.
Dan sepertinya aku harus kembali berurusan dengan hal tak penting itu setelah dipaksa kembali ke Jakarta oleh Papa Mama dengan alasan aku sudah terlalu lama tinggal di negera orang dan sudah saatnya aku kembali ke rumah dan memberikan cucu untuk mereka. astaga, bahkan memikirkan untuk segera menikah saja belum.
“Cita sudah diantarkan?”tanya Mama saat aku duduk tak jauh dari Mama yang sedang berkutat dengan kertas-kertas berisikan menu baru untuk restoran dan bakerynya. Pertanyaan itu seolah-olah aku akan menurunkan Cita di tengah jalan, oke meski aku sebal dengan bocah SMA satu itu aku juga tidak setega itu menurunkan anak orang di tengah jalan.
“Sudah,”jawabku sekenanya. Kali ini aku mulai membuka novel tebal hasil buruanku kemarin di gramedia. Entahlah, hidupku seperti nggak jelas setelah kembali ke sini seminggu yang lalu. Aku tidak boleh bekerja dan disuruh membantu Mama saja. Padahal yang kutahu anak buah Mama sudah lebih dari cukup kalau hanya untuk mengurus restoran dan beberapa bakerynya itu.
“Jadi, gimana tawaran Papa Mama semalam? Kamu sudah memikirkannya kan?”tanya Mama seraya menatapku dan melepas kacamatanya. Aku menatap Mama dengan ekspresi datar sekaligus kesal. Jangan pikir tawaran mereka untukku menyenangkan, sebaliknya tawaran mereka sama sekali tidak menyenangkan.
“Aku masih muda Ma, aku masih mau bekerja,”kataku.
“Tujuan seperti apa yang kamu inginkan? Bahkan sudah 6 tahun kamu bekerja di negeri orang, dan apa hasilnya? Semuanya sama saja,”
Aku menatap Mama yang mulai berjalan menghampiriku. Aku jelas mengerti kemana arah pembicaraan ini. Oke, aku memang menyukai kesibukan dan tak terlalu peduli dengan apa yang ada di sekelilingku, hasil dari bekerjaku juga hanya berakhir di debit card tanpa aku belanjakan seperti kebanyakan orang. Bahkan smeua kebutuhanku diurusi oleh Mama yang hampir setiap bulan mengunjungiku hanya untuk belanja kebutuhan bulananku.
“Aku hanya ingin bekerja,”
“Mama tak pernah mengerti cara pikir kamu, bahkan kalau Mama Papa tidak mengancam Mama yakin kamu masih berkutat dengan kesibukan kamu yang sangat membosankan itu,”kata Mama yang kini sudah berdiri di depanku. Aku mendengus sebal.
“Lalu apa mau Mama?”
“Kamu menikah,”
“Tapi Ma,”
“Dengan begitu kamu akan tau kehidupan lain selain laptop, dokumen dan ekerjaan-pekerjaan yang membuat kamu melupakan semuanya, bahkan Mama yakin kamu akan melupakan kalau masih punya orangtua kalau lebih lama lagi tinggal di sana,”
“Aku belum siap menikah,”
“Berarti kamu lebih suka menjadi asisten Mama?”
“Aku ingin bekerja Ma,”
“Menikah dan kamu boleh bekerja di manapun atau menjadi asisten Mama?”tanya Mama. aku menatap Mama pasrah.
“Bahkan aku tak tau Papa Mama akan menjodohkanku dengan pria seperti apa,”
“Yang terbaik untuk kamu yang jelas,”
“Bukankah hanya aku yang bisa menentukan apa itu terbaik dan tidak?”
“Iya, kalau kamu mau mencari dan berusaha. Tapi bukankah selama ini kamu tidak ernah memikirkannya sama sekali? Jadi, jangan salahkan Papa Mama kalau akhirnya kamilah yang memegang kemudi atas diri kamu,”
“Ma,”
“Sudah terlalu lama Papa Mama mempercayakan semuanya ke kamu, dan ternyata hasilnya sama saja, kamu terlalu percaya pada diri kamu sendiri dan merasa tidak membutuhkan orang lain,”
“Bukankah itu lebih baik daripada menggantung terhadap orang lain?”
“Tapi kadangkala kita harus melibatkan orang lain di hidup kita, tidak selamanya kita bisa melakukan semuanya sendiri Aira. Percayalah, Papa Mama sayang sama kamu, tapi lagi-lagi kamu tidak peduli dan tidak mau tau dengan itu semua,”
“Tapi kenapa harus menikah adalah solusinya?”
“Karena Papa Mama yakin itulah yang menjadi solusi atas semuanya,”
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA AIRA
RomanceHidup itu tak perlu muluk-muluk. cukup melakukan hal yang penting-penting dan mengenyahkan hal yang tidak penting. begitu pula kenangan, kalo tidak penting buat apa dikenang? -AIRA-