16. Derai

70 4 2
                                    

16.

Hari ini, Caca mulai diam dan tidak menanyakan hal apapun kepada semua teman-temannya. Walaupun Caca dekat dengan mereka, tetapi Caca tetap saja berdiri pada pendirian yang sama: tidak ingin jatuh pada nasib baik temannya, dan mendekatkan temannya pada teman baik dirinya dari lahir.

Caca tidak peduli, pada mereka yang menentang pendiriannya kali ini. Yang terpenting, Caca hanya ingin cinta tetap berdiri dengan sendirian—dan tidak mau ada orang yang menghancurkannya, apalagi seseorang yang selalu dekat dengan dirinya sendiri.

Teguh pada pendirian, Caca menerima konsekuensi nanti yang akan berbalas pada apa yang tengah ia lakukan. Mendengus pelan, seraya menatap lusuh ke arah depan. "Apa gue jujur lagi aja ya, sama Marsel. Nanti, kalau didiemin terus, malah semakin retak. Gue juga nggak mau."

Di bawah pohon rindang, tepat di dekat jalan besar dan bernaung sebuah tempat bermain, Caca sendirian disini. Sambil menikmati lalu lalang orang berjalan, Caca sesekali menyeruput espresso dingin yang ia beli di kedai biasa.

Terlalu jengah berada di kamar sendirian, apalagi tidak ada teman yang mampir ke tempatnya—membuat kesendirian Caca semakin begitu kental. Caca tahu, dari awal ia tinggal di Condo memang sudah sendiri—bahkan semenjak kedua orang tuanya sibuk keluar kota.

"Kalau tahu begini, gue nggak bakal suka dari dulu sama Marsel. Buat beban gue semakin bertambah aja," ia mendengus sekali lagi, dengan tatapan berpusat pada orang-orang yang tengah melintasi dirinya, Caca semakin buyar.

Sebentar lagi, malam sabtu akan tiba. Pantas saja banyak orang-orang yang bersinggah ke tempat ini dan menikmati obrolan yang ada. Caca melihatnya penuh takjub. Apalagi dengan dialog mereka selalu diulas senyum, nampak begitu menggetarkan jiwa.

Tetapi, ada sesuatu yang menurut dirinya, ia salah singgah ke tempat ini. Di sebrang jalan, lagi-lagi Marsel berjalan bersama dengan Leni—teman karib sebangkunya di sekolah.

"Apaaa lagi nih. Bikin bete aja serius. Hhh!" diam-diam kesal, Caca mengambil ranselnya dan juga memakai topi hitam kesehariannya. Caca bangkit, membawa espresso dingin ditangannya, ia melenggang pergi dari tempat ini.

Mengambil helm disebuah sangkutan spion motonya, Caca langsung mengenakan dan menaiki motor kesayangannya—Chase. Belum sempat Caca menghidupkan motor, kedua remaja yang membuat ia jengkel melewatinya.

"Coba, lain kali kalau bener mau jalan sama orang, nggak usah diem-diem. Apalagi cari alesan yang nggak masuk akal. Bikin gokil!" cibir Caca dengan lisan tidak mau untuk diam lebih lama lagi. Setelah itu, Caca menyalakan motornya dan menarik gas yang ia tahan dengan rem kaki.

Lantas, kedua remaja yang mendengar celoteh seseorang dari belakang mereka, menoleh. "Lho, Caca! Ngapain lo disini?" Leni bertanya, seolah-olah ia ingin menambah alasan agar Caca tidak lagi memojoki dirinya.

Caca menyunggingkan senyuman, "Tadinya gue disini sih, nyantai. Cuma ada sesuatu yang nggak bisa bikin gue sedikittt—aja nyantai. Makanya milih balik aja."

Leni nampak salah tingkah. Sikapnya seperti itu, membuat Caca semakin kesal terhadap hati busuknya yang tidak merasakan rasanya hati seorang teman.

Menoleh ke arah Marsel, Marsel nampak biasa-biasa saja. Tahu, Marsel tidak mengetahui isi hatinya dengan baik—dan lebih mudah untuk menyakiti dengan sikapnya itu.

Caca menepuk-nepuk punggung Marsel, "Nanti malem, mainnya libur dulu aja. Nikmati aja dulu, masa-masa 'lo—pedekatean. Ya? Kalau gitu gue balik duluan!"

Dengan ucapan sedikit penekanan, akhirnya Caca menginjak gigi dan melesat pergi dari kedua remaja ini.

Permulaan seujung jarum runcing, sudah dimulai. Pahitnya rasa cinta, mulai terkuak dengan dustanya sebuah ucapan. Benar-benar tidak bisa diam, Caca akan membuat niat agar temannya tidak begitu serius dengan sobat karib sebangkunya.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang