A Bloody Farewell (4)

54 6 0
                                    

This part of Story was written by Viona Ang.

Kedua mata yang terus mengintai

Mengikuti kemanapun kami pergi

Tak ada lagi tempat sembunyi.

Pada akhirnya semua akan mati

Mengapa penyesalan selalu datang setelah semuanya terjadi?

***

Bella POV

Pasar yang sebelumnya sangat ramai sampai kami harus berdesak-desakan, kini telah sepi. Hanya tersisa beberapa penjual stan yang sedang menutup dan membereskan barang dagangannya.

Spanduk dan brosur yang sudah terinjak-injak bertebaran di tanah, ditemani dengan berbagai jenis sampah yang ditinggal begitu saja.

Aku dan Nico segera turun dari mobil dan menghampiri seorang pria paruh baya yang masih sibuk mengangkut kotak berisi sisa dagangannya ke dalam bagasi truk putih miliknya.

"Permisi Pak, apa Bapak melihat dia?" kataku sembari menunjukan foto-foto Axel yang ada di dompetku.

"Nggak, tuh, Mbak," kata pedagang itu acuh tak acuh sambil mengangkut barang-barangnya ke dalam truk.

"Nyebelin banget, sih! Dia bahkan nggak liat ke fotonya, loh!" dengusku dengan hati dongkol saat kami sudah berjalan menjauh.

"Udah, lah. Kita cari aja di sekitar sini. Lagipula di sini kan rame banget tadi, pedagang-pedagang nggak mungkin perhatian kalaupun mereka liat." kata Nico dengan nada datar.

"Trus? Kita mau ke mana?" sahutku kesal sambil masih celingukan.

Alih-alih menjawab, Nico diam saja sambil terus berjalan ke arah hutan di belakang panggung. Ketika kulirik wajahnya, ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Aku mengintip ke balik pagar kawat yang membatasi stadion dengan hutan, tapi tidak menemukan apa pun di sana selain warna hitam kelam serta batang pohon tinggi yang berjajar.

Perasaan diintai itu pun kembali lagi menggangguku.

Rasanya ada sesuatu yang mengintip dari balik pepohonan, menunggu kami berdua untuk masuk ke dalam kegelapan—tempat di mana ia bersembunyi.

"Um... Kayaknya Axel nggak bakal ke sana, deh." kataku sambil menoleh ke arah Nico.

"Mungkin aja, sih. Bisa jadi Axel diculik pembunuh atau penjual organ dalam manusia trus di bawa ke dalem gubuk kecilnya di dalem hutan kaya di film-film. Entah kenapa perasaan gue bilang dia ada di sana." timpalnya membuatku ingin menjahit mulutnya yang ceplas-ceplos itu.

"Kalo lo nyangkut-nyangkutin ini sama film horror lagi, gue literally bakal jahit mulut lo, loh." ancamku sambil melotot garang ke arahnya.

"Loh, kan siapa tahu yang dibalik semua ini itu pembunuh bayaran atau penjual organ dalem manusia, trus kebetulan orang yang berhasil mereka dapetin pertama kali itu Axel. Trus dibawa—" "Ssst! Udah-udah, jangan diterusin! Lo bikin gue tambah merinding. Persetan sama tuh pembunuh atau penjual organ atau setan, yang penting gue nggak akan maafin siapa aja yang nyulik Axel dari sisi gue." potongku, membuatnya langsung diam seribu bahasa.

Aku meraih senter dari dalam kantongku, menyalakannya lalu memegangnya erat-erat sambil berusaha memanjat pagar pembatas, meninggalkan Nico yang masih bengong menatapku.

"Ayo naik, katanya perasaan lo bilang Axel ada di—"

Serrr...

Angin kencang yang dingin menerpa ke arahku dari dalam hutan, membuatku langsung menelan ludah dan mempertimbangkan kembali keputusanku.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang