Kesadaran Yumna berangsur bangkit. Kesakitan adalah rasa pertama kali yang menyeruak dari tubuhnya. Ada apa ini? Kenapa bisa seperti ini? Yumna berusaha bergerak. Namun lilitan ini benar-benar membuatnya kewalahan.
Argh!
Yumna ingin berteriak. Siapa yang melakukan ini. Ia menggali memori. Setahunya tadi ia tengah bersama Rai kemudian pamit ke wc dan ia kembali bertemu dengan orang-orang itu. Sial! Ini pasti perbuatan mereka. Orang-orang itu ingin membalaskan dendam.
"Kau sudah bangun adik cantik?" Sapaan itu terdengar genit.
Yumna mendongkak. Mendengkus jijik dengan siapa orang yang ada di depannya. Orang itu ... Yumna jelas mengingatnya. Orang itu adalah perempuan yang menginjak perut Fandhi dengan brutal. Memukulinya tanpa kenal lelah. Dan juga paling banyak memberi luka pada tubuh Afandhi. Yumna sudah tahu siapa yang memukul tengkuknya tadi.
Mendengkus jijik. Yumna melayangkan tatapan remeh pada wanita itu. "Ya. Sekarang lepaskan aku."
"Melepaskan?" Wanita itu mengambil sepuntung rokok dari sakunya. Menyalakannya. Menghisapnya sebelum membuang tepat pada wajah Yumna.
"Uhuk! Uhuk!" Yumna terbatuk beberapa kali. Ia benci dengan asap rokok.
"Kamu tahu butuh waktu berapa lama aku bisa membawamu kemari? Dua bulan. Selama itu, aku harus menahan diri karena kejaran polisi dan bodyguard tak berguna itu. Aku sangat kewalahan menyeretmu."
"Jangan menyalahkan polisi atau bodyguard. Kamu saja yang tidak becus. Untuk menangkapku, memerlukan empat orang lelaki. Dan satu perempuan. Menggelikan!"
Tepat setelah kalimat itu terucap satu tamparan mendarat. Terlalu keras. Yumna bahkan nyaris hampir terjatuh dengan kursi yang menempel pada dirinya. Yumna yakin, pipinya pasti akan lebam selama seminggu.
Satu gerakan kembali menempatkan wajahnya lurus. Menatap orang gila itu. Orang gila yang benar-benar tak waras. Wanita itu mencengkram rahangnya kuat. Yumna mengernyit. Bau anyir menyeruak.
"Mulutmu ternyata masih semanis dulu. Aku tak sabar untuk menikmatinya."
Yumna meludah. Ia tak peduli jika cairan itu bercampur dengan darahnya. Ia sangat jijik.
"Lebih baik aku mati dari pada seinci tubuhku tersentuh olehmu!"
"Benarkah?" Perempuan itu mengusap ludah Yumna dengan tangan kiri.
PLAK!
Kemudian kembali menampar pipi Yumna pada tempat yang lain. Kekuatannya masih sama. Yumna nyaris terhuyung jatuh.
"Kamu akan segera mendapatkannya. Tanpa kamu minta, aku akan memberikannya dengan cuma-cuma. Tapi setelah aku mendapatkan apa yang aku mau. Setelahnya aku akan menyerahkanmu pada anak buahku terlebih dahulu sebelum eksekusi. Jadi kamu tak perlu khawatir, Sayang." Wanita itu mengusap dagu Yumna dramatis. Ada darah yang menempel. Dia tak memerdulikannya.
Mendekatkan wajah. Hidung mereka nyaris bersentuhan. "Menjauhlah dariku Ana!" Yumna menendang perut itu. Beruntung kakinya tak ikut terikat. Ia memundurkan kursi. Menyeretnya dengan kaki terseok-seok. Jijik. Benar-benar jijik. Orang di depannya ini ... Yumna tak mempercayainya.
Bukankah dulu dia memperebutkan Afandhi hingga membunuhnya. Lalu kenapa ... kenapa seperti ini?
Air mata Yumna berjatuhan. Ada ketakutan tersendiri. Orang gila. Ana adalah orang gila yang harus di kerangkeng!
"Kamu menangis?" Ana mengembangkan senyum senang. "Akhirnya ... aku sangat suka. Menangislah! Aku sudah menikmatinya. Ketakutanmu. Itulah yang kucari-cari. Selama ini ... kamu bertahan terlalu jauh. Aku tidak bisa membiarkannya. Dan sekarang ... aku puas. Sangat! Hahaha," tawanya menggelegar. "Gusy! Sekarang giliran kalian!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Teen Fiction"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...