Tiga Belas

327 98 38
                                    

Jangan lupa vote terlebih dahulu ya! Dan jangan lupa komen juga hehe :)

🎀🎀🎀

Suara alunan musik akustik menemani malam yang mendung pada Senin hari ini. Tampaknya semesta seakan mengerti dengan suasana hati Mahera sehingga langit menjadi mendung. Meskipun begitu, ia tetap berusaha tersenyum menatap hari ini.

"Woy kerja!" tukas seorang gadis yang memergoki Mahera sedang saling mengirim pesan pada direct massage Instagram.

"Udah kelar gua. Tinggal pulang." Mahera mencubit gemas pipi gadis tersebut yang sekarang sudah duduk di sampingnya.

"Aduh, sakit tau!" keluh gadis tersebut

"Cewek mana lagi yang mau lo baperin?"

"Kali ini bukan ngebaperin. Tapi sedang menjalankan sebuah misi!" tutur Mahera bersemangat. Sedangkan gadis itu hanya bisa menyungingkan sebelah sudut bibirnya.

"Ya udah, kita pulang yuk!" Mahera segera berdiri dan mengenakan jaket, lalu berjalan ke pintu keluar cafe.

"Mahe, tungguin ih. Kebiasaan!"

"Iya.. Iya.. Kipas angin ku!" Mahera menghentikan langkah kakinya

"IH. NAMA GUA FANESSIA. BUKAN KIPAS ANGIN."

"Fan itu 'kan kipas angin," tutur Mahera, mengacak rambut Fanessia. Fanessia tersenyum kecut.

Namanya Fanessia Agatha gadis cantik dengan kulit putih, rambut lurus hitam Panjang tergerai, mata sayu, hidung macung dan senyuman manis dihiasi lesung pipi di kedua pipinya. Mereka menjadi saling akrab ketika, seorang wanita paruh baya yang iba terhadap Mahera setelah dirinya diusir oleh ibu tiri bernama Rini.

Wanita dengan senyuman manis dan kerudung muslimahnya. Dengan lembut ia memberanikan diri untuk menolong Mahera dan merawatnya. Sejak saat itu, Mahera berjanji pada dalam dirinya untuk menjadi orang pertama yang datang ketika Fanessia membutuhkan bantuan. Ia sangat menyangi Fanessia seperti menyayangi Nadira.

"Kipas angin, Pegangan."

"Kenapa?"

"Gua mau ngebut!"

"Oke!"

Rasanya sederhana saja, dikirimkan sebuah keluarga asing yang tiba-tiba menjadi keluarga yang selalu ada untuknya adalah hal terbaik yang semesta kabul 'kan ketika Mahera meminta kepada Sang pencipta. Mengingat hal itu, Mahera jadi senyum-senyum sendiri. Dan akhirnya ia telah sampai di depan pintu gerbang rumah Fanessia. Dari luar rumah Mahera dapat melihat Luna—Mama Fanessia sedang memasak. Mahera sudah membayangkan wangi masakan Luna.

Fanessia pun segera turun dari motor Mahera dan melepaskan helm yang ia kenakan. Ketika, mengetahui dirinya sudah sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ia membuka pagar hitam rumahnya. Namun, setelah Fanessia membuka pagar rumahnya mempersilahkan Mahera masuk memarkirkan motornya. Mahera mengurungkan niatnya untuk mampir.

"Fan."

"Iya kenapa?"

"Gua ga jadi mampir ya?"

"Lho kenapa?"

"Badan gua lagi ga enak, kayaknya mau langsung pulang aja."

"Ya udah minum coklat anget dulu aja? Biasanya lo langsung baikan."

"Engga dulu deh. Gua pamit ya salam buat Mama sama Om Bara ya?"

"Ya udah deh. Take care ya." Mahera menganggukan kepalanya.

"Thanks."

Ia pun menstarter motor matiknya dan pergi menjauh meninggalkan rumah Fanessia. Lagi-lagi ia harus berbohong. Dirinya merasa tidak enak selalu merepotkan keluarga Fanessia, meskipun mereka tidak merasa direpotkan. Mahera menatap langit yang sudah mengelap. Udara malam yang dingin menyeruak masuk di balik jaket yang Mahera kenakan. Malam ini, Mahera begitu gelisah kala melihat seseorang yang sangat tidak asing yang ia lihat diteras rumah Fanessia.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang