﹙BAB 7 : Arti dari Kata "Lagi"﹚

2.1K 259 16
                                    

ㅤHari demi hari semakin maju, kini sudah memasuki di pertengahan bulan Desember. Sedang menuju akhir tahun, tapi belum ada kemajuan. Siapa? Aku, kamu, dan kita semua. Tapi, setidaknya ada hal baik yang kami laksanakan.

ㅤSudah sedari tanggal 4 kemarin, rumah yang di tempati selama setahun ini kini sudah sepi. Lantaran pengisinya sudah berpulang ke Rumah mereka yang sebenarnya. Di berbagai kota yang berbeda dan jauh disana. Baru beberapa hari, tapi rasanya Bandung itu candu untuk di tinggalkan. Banyak sekali kenangan tentang kami disana, baik yang tersendiri maupun yang bersama.

ㅤKembali kepada kediaman keluarga Wijaya, ketua kami, Janardana Laksamana Wijaya. yang jauh di Yogyakarta sana. Berkumpul bersama keluarga besar Wijaya, menikmati hari libur di penghujung tahun yang Lumayan berkesan ini.

ㅤNamun naas, tidak semua keluarga yang di penghujung tahun menikmati semua liburan nya dengan sorai gembira. Disana, kediaman keluarga Wijaya sedang lumayan bersedih. Di karenakan sang Ibu dari Janardana sedang mengalami cobaan dari Tuhan. Dirinya sakit, Diabetes tipe dua.

ㅤKarena pemasukan gula yang tinggi, membuat sang Ibu menjadi fisik yang lemah. Tersungkur diatas ranjang rumah sakit, dan tetap menampilkan wajah berseri-seri seakan-akan dirinya sehat jiwa dan raga. Nyatanya tidak. Dirinya sakit, entah sampai kapan. Dokter belum memberi kabar terbaru apapun tentang Ibu.

ㅤJanardana singgah di rumah sakit bersama saudara kembarnya untuk merawat sang Ibu, di karenakan sang Romo yang sibuk dengan urusan pekerjaan yang membuat dirinya tidak bisa menjaga sang Kasih.

ㅤ"Ibu, sudah makan kan?" Tanya si anak pertama, Ardan. "Sudah kok, kamu nduk?" Sang Ibu bertanya kembali kepada sang anak, namun tidak hanya si sulung, namun kepada di penengah juga. "Sudah buk, obatnya gimana, Buk?"

ㅤ"Sudah juga, Ibu boleh minta tolong?" Tanya nya kepada si Kembar, "Boleh, Buk." Jawabnya serentak. "Minta tolong buat jemput Adikmu besok ya, di Stasiun." Titahnya.

ㅤAdik bungsu dari keluarga Wijaya, berbeda Dua Tahun dengan si Sulung dan Penengah. Tahun ini Adiknya baru saja memasuki dunia Perkuliahan yang ia dapat lewat SBMPTN lalu di Malang sana. Satu-satunya Cah Ayu di keluarga ini, dimana menjadi satu kebanggaan untuk sang Ibu dan sang Romo. Karena bisa menyusul sang Kakak sebagai anak Rantau.

ㅤ"Nggih, Buk. Sekarang Ibu istirahat ya, biar Ardan sama Adan yang temenin Ibu disini sampai Romo mulih." Jawab si Penengah, Ekadanta Sagara Wijaya.

ㅤSesuai perkataan sang Ibu, Adik bungsunya kini sudah tiba di Stasiun Yogyakarta. Kepulangannya pasti membawa satu hal yang membuat Ibu dan Romo bahagia. Bagaimana tidak? Anak perempuan satu-satunya, dan paling di sayang setelah si Kembar pergi merantau beberapa Tahun lalu.

ㅤ"Ini kamu mau pulang atau liburan? Kopernya kenapa dibawa semua?" Tanya Ardan ketika Adiknya menggiring dua buah koper besar yang berisi pakaian-pakaian nya disana.

ㅤ"Yo mulih, lah! Ini bajuku tak bawa semua, nggak sempat cuci disana karena desakan Ibu suruh pulang cepet."

ㅤ"Alesan. Yowes, bawa sendiri. Mas males." Ini si Penengah yang jawab, sudah tertebak. Dirinya tipikal orang yang malas untuk melakukan sesuatu. "Loh, heh! Aku wes mulih, bukannya di bantu! Tak bilangin Romo ya, Mas!" Gerutunya kesal, karena dirinya merasa lelah akan menjadi anak Rantauan.

ㅤ"Wes wes, sini! Kamu nih ya Dit, ngaduan terus." Janardana bersuara memanggil Adiknya, Ratu Rara Anandita Wijaya. "Ya soalnya Mas ngeselin, lah?" Selanya saat berjalan menuju parkiran.

ㅤSesampainya di parkiran, si kembar langsung membuka bagasi untuk menyimpan dua koper Adiknya. "Pulang kerumah dulu Dit, nanti sore baru kerumah sakit buat jaga Ibu. Sekarang bibi yang jaga disana, soalnya Romo masih di kantor." Katanya. "Mmm okedeh, berarti di rumah nggak ada bibi ya, Mas? Kalau gitu, bantuin aku cuci baju dulu, ya."

ㅤLagi, dan lagi. Adik selalu memperbudak Kakak. Memang berbeda, karena anak perempuan satu-satunya jadi semua perkataan nya selalu di turuti. Kalau kata Romo begini, "Gini ya Mas, Adikmu bukannya belum dewasa. Anaknya belum terbiasa, masih suka manja dan minta tolong sana sini, ya Mas tau sendiri lah. Cah ayu satu-satunya jadi gimana. Jadi, kalau di mintain tolong, di bantu ya, Mas. Sampai Adikmu udah bener-bener dewasa."

ㅤArdan sebagai Mas nya, Iya-iya aja. Terlalu segan untuk membantah omongan Romo-nya. Begitu juga dengan Adan, anak penengah cuman mau jadi Abang yang baik aja buat Adiknya. Toh Adiknya satu-satunya, jadi He treat her like a princess. Karena sedari dulu, Anandita sudah menjadi Lil Princess untuk si Kembar dan keluarga Wijaya.

ㅤSesuai perkataan nya, kedua anak Lelaki Wijaya itu benar-benar membantu si bungsu untuk menyelesaikan cucian pakaiannya. Tak di pikirkan, baju kotornya hampir dua ember besar. Ternyata kata Romo nya benar, si Gadis benar-benar belum terbiasa akan hal yang menuju kearah dewasa.

ㅤ"Dit, kamu udah berapa minggu nggak cuci pakaian?" Tanyanya. "Mmm dua minggu sih, kenapa?" Jawab si bungsu. "Hah? Dua minggu aja dan pakaian kotornya sebanyak ini? Kamu sehari pakai berapa baju, deh?" Menambah pertanyaan baru. "Nggak tau sih, setiap dari luar aku ganti, Bang. Soalnya gerah aja bawaannya."

ㅤTak habis pikir, Malang yang di kenal akan cuaca dinginnya seperti Bandung, dan masih bisa-bisanya dia berbicara kata Gerah? Adiknya memang belum terbiasa, seperti nya dia masih terbiasa akan cuaca Yogyakarta yang seperti terus menerus disinari matahari.

ㅤSelesai mencuci semua pakaiannya sang Adik, akhirnya anak-anak dari keluarga Wijaya menuju rumah sakit dimana sang Ibu di rawat inap yang sudah hampir 3 hari ini. Nggak begitu jauh, hanya membutuhkan setengah jam atau mungkin kurang.

ㅤKedatangannya disambut hangat oleh sang Ibu, dimana ia sudah sangat merindukan anak-anaknya. Padahal baru saja semalam bertemu dengan si Kembar, tapi entah. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Rindu, sangat rindu. Setelah nya, si Empu seakan-akan mendapatkan nikmat tuhan yang paling indah. Melihat keluarganya berkumpul bersama-sama lagi karena beberapa menit setelahnya Romo datang.

ㅤBagaikan sang Induk yang kehilangan anak-anak nya, Ibu selalu menatap mata anak-anaknya lekat seakan-akan tak mau lepas, tak mau hilang. Ingin tetap anak-anaknya ada disini dan menemani si Induk hingga sehat kembali dan menatap dunia luar yang sudah beberapa hari ini ia tidak melihatnya.

ㅤSorot matanya seakan-akan berkata, "Ibuk rindu, sangat rindu. Seperti ada perasaan yang tersembuhkan, dan takut semua ini akan berakhir begitu saja." Merasa perasaannya tidak enak, sang Ibu mulai berbicara serius. Membiarkan satu-persatu anaknya dipanggil untuk mendengarkan wejangan Ibu. Entah untuk keberapa kali, atau mungkin yang terakhir kali?

ㅤArdan merasakan itu, merasakan bahwa keadaan Ibu tidak baik-baik saja. Merasa detak jantung Ibu lebih cepat dari biasanya, dan gerakan tangannya yang gemetar, serta matanya yang selalu menatap si lawan bicara dengan penuh kehalusan dan sedikit rasa mencekam. "Ibuk baik-baik aja, kan?" Pertanyaan pertama yang ia keluarkan setelah berpikir untuk beberapa saat.

ㅤ"Ibuk nggak apa-apa, Nduk. Boleh Ibuk peluk, lagi?" Berkata dengan nafas yang berderu, seperti sedang di kejar sesuatu yang menyeramkan dan mencekam. Tanpa mereka sadari, nafas itu semakin lama semakin menipis dan pelan. Air mata yang tadinya jatuh kini sudah habis, tidak terjatuh lagi. Tangannya yang merangkul ketiga anaknya sudah lemah, mulai terlepaskan perlahan dan tidak ada aktivitas lagi.

ㅤDisitulah, Ibu Berpulang ke tempat paling indah dan abadi. Selamanya.

LANGIT PASUNDAN | DISCONTINUEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang