Ido is calling...
Aku menggeser ikon berwarna hijau di layar ponselku,
"Hallo, Do?"
"Turun. Gue di depan rumah lo. Sepi banget, lo sendirian di rumah?"
"Tunggu, gue turun sekarang."
Aku mematikan sambungan telepon kemudian dengan segera menghampiri sahabatku itu.
"Hei, berantakan banget muka lo!"
"Lo kesini cuma mau ngajak berantem?"
Ia terkekeh kecil, "Nggak, gue mau main doang. Nengokin sahabat gue ini masih hidup gak setelah ditinggal gue."
"Berisik. Duduk di teras aja ya? Di dalem gak ada orang."
"Iya. Santai aja. Mata lo kenapa bengkak gitu? Digigit dugong?"
"Sialan lo!"
Ia tertawa, "Nggak, serius itu mata lo kenapa? Nangis lo?"
"Nggak. Sok tau banget."
"Gue kenal lo bukan baru satu hari, gue tau kalau lo bohong. Kenapa lagi sih lo? Galau lagi? Lutfi?" Ia membanjiriku dengan pertanyaannya.
"Kayaknya gue emang nyakitin orang mulu ya, Do?"
"Nyakitin gimana?"
"Dua hari yang lalu gue datang ke tempat latihan futsalnya Lutfi, pas gue disana eh malah ada cewek lain. Namanya Nina, katanya sih sahabat Lutfi dari SMP. Dulu Lutfi naksir sama Nina."
"Kayak gue sama lo dong, Nin?" Tanya pria itu tidak tau situasi.
"Ih, nyebelin banget sih lo, gue lagi curhat!"
"Iya, maaf. Lanjut!"
"Gue salah gak kalau marah sama dia, Do?"
"Emang si Nina itu ngapain aja disana?"
"Dia bawain Lutfi makanan kesukaannya, terus dia minta Lutfi nemenin dia ke ulangtahun temannya."
"Terus Lutfinya mau nemenin?"
"Mau."
"Yaudah, bukan salah lo. Jangan nangis mulu."
"Tapi kemarin pas Lutfi berusaha ngejelasin, gue malah ngerendahin diri gue sendiri di depan dia. Gue bahkan nyuruh dia buat sama Nina aja."
"Terus dianya mau?"
"Nggak, tapi dia pergi ninggalin gue gitu aja."
"Gue juga kalau jadi Lutfi pasti marah, Nin. Bayangin lo udah berusaha mertahanin tapi orangnya malah gak mau dipertahanin? Rasanya sia-sia."
"Jadi, gue salah lagi ya?"
"Nggak. Lo gak salah. Lutfi itu pacar lo, harusnya dia paham watak pacarnya yang ngambekan dan gampang nyerah ini, harusnya dia lebih bisa jaga hati lo."
"Tuh kan, berarti dia yang salah kan? Ngapain juga gue nangisin dia!"
"Gak ada yang salah, gak ada yang bener. Lo berdua itu cuma gak bisa ngendaliin emosi. Lagipula nangisin pacar sendiri mah wajar kali, Nin."
"Do, kalau gue nyerah itu artinya gue kalah ya?" Tanyaku lemah.
"Lo mana pernah kalah sih, Nin. Lo selalu jadi pemenangnya. Ayo dong kenapa gampang banget nyerah gini, bukan lo banget!"
"Gue gak tau, terakhir kali gue berjuang mati-matian itu pas masih sama Arka dan akhirnya gak bahagia. Gue ngerasa cuma buang-buang waktu, Do."
"Arka sama Lutfi bukan orang yang sama. Lo gak bisa nyamain gitu aja."
