07 : The Wounds of Childhood

301 51 1
                                    

Di sudut ruangan yang remang, di dalam rumah yang sempit dan kotor, suara tangisan lirih bergema, menyatu dengan kesuraman yang menyelimuti setiap sudut ruang. Anak kecil itu, Kim Taehyung, meringkuk ketakutan. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya malam yang menembus celah-celah dinding kayu yang rapuh, namun karena rasa takut yang membeku dalam jiwanya. Seolah-olah udara di ruangan itu dipenuhi dengan amarah yang tidak terucapkan-sesuatu yang tidak kasat mata, namun begitu nyata dan mencekik.

Pria tua itu, ayahnya, duduk di kursi reyot di seberang ruangan. Matanya yang merah dan keruh menatap kosong ke depan, sementara bau asap rokok dan alkohol menguar dari tubuhnya, memenuhi udara dengan aroma busuk yang menyesakkan. Waktu seakan berhenti di rumah itu, namun amarah pria tua itu selalu berjalan dengan langkah cepat, seperti api yang terus membara, mencari bahan bakar.

"Hentikan tangismu, anak bodoh," ucap pria tua itu dengan suara rendah dan berat, nyaris seperti geraman serigala yang lapar.

Namun, seperti malam-malam sebelumnya, tangisan Taehyung tidak juga berhenti. Seolah-olah, air matanya adalah satu-satunya cara baginya untuk merespons dunia yang begitu asing dan kejam ini. Baginya, tangisan itu adalah bahasa yang ia pahami-bahasa yang lahir dari kepedihan yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Suara pria tua itu kembali membahana, kali ini lebih keras, seperti guntur yang menggelegar di langit malam yang gelap. "Tidakkah kamu dengar, wahai anak bodoh? Hentikan tangismu sekarang juga!"

Pria itu tiba-tiba berdiri, langkahnya goyah akibat mabuk, namun tatapannya penuh dengan ancaman yang nyata. Dalam sekejap, tangan tuanya yang kasar menggebrak meja kayu dengan kekuatan yang tidak terduga. Suara kayu berderak dan botol-botol kosong bergetar, namun tangisan Taehyung hanya semakin menguat, seperti banjir yang tidak bisa dibendung.

Amarah pria itu tidak bisa lagi dibendung. Dalam kabut alkohol dan kebenciannya yang mendalam, ia tidak melihat lagi Taehyung sebagai anaknya-seorang anak yang lahir dari darah dan dagingnya. Tidak, dalam matanya, anak itu tidak lebih dari beban, sebuah pengingat yang menyakitkan akan kehidupan yang telah menghancurkannya. Tanpa pikir panjang, tangan tuanya yang gemetar meraih botol kosong di meja. Dengan langkah tergesa, ia menghampiri anaknya.

"Anak bodoh! Tidak pernah mendengarkan! Kamu benar-benar tidak berguna!" Pria itu mengayunkan botol itu dengan keras, menghantam tubuh Taehyung yang kecil dan lemah.

Taehyung meringis, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya. Namun lebih dari rasa sakit fisik, ada luka yang jauh lebih dalam di hatinya-luka yang tidak akan pernah bisa sembuh. Setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya bukan hanya mematahkan tulangnya, namun juga jiwanya. Di setiap hentakan, Taehyung merasa semakin jauh tenggelam dalam kesunyian yang mencekam.

"Kenapa kamu tidak mati saja bersama ibumu?!" teriak pria itu, nadanya penuh kepahitan. "Tega-teganya dia meninggalkanku dengan anak sepertimu! Anak yang tidak berguna!"

Taehyung, meski diliputi ketakutan dan kesakitan, berbisik pelan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri, "Aku tidak bodoh. Aku tidak bodoh..." Namun suara itu nyaris tidak terdengar, tenggelam di antara bunyi derak botol yang terus menghantam.

Di balik kabut duka dan rasa sakit, Taehyung tidak mengerti mengapa ia begitu dibenci. Mengapa kehidupan seolah-olah tidak memberinya ruang untuk bernafas. Ia tidak tahu apa salahnya, mengapa ia harus menerima semua ini. Mungkin hidup memang seperti ini-sebuah permainan yang tidak pernah adil, di mana setiap orang hanya menjadi pion yang terperangkap dalam nasib yang tidak bisa dihindari.

Shadows of Reflection [revisi] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang