The Beginning

2 0 0
                                    

"Hai, Val. Gimana rencana buat cek lokasi untuk klien yang lagi ditangani?"

Rangga yang pagi itu, menyapa ku, melihat tumpukan kertas di sana-sini seperti tertiup beliung. Karena udah dari beberapa menit tadi kepalaku pusing, berdenyut melihat coretan-coretan rencana yang sedang ku buat.

"Belum pasti kapan, sih. Cuma si pak Andre pengen banget lokasinya di daerah Pahoman, sementara di sana sudah cukup banyak jenis usaha yang seperti milik beliau. Susah bener ngeyakinin tu bapak buat cari lokasi lain." Ucap Bak sambil mengurut keningnya

Aku dan Rangga, dua konsultan bisnis yang bertemu dalam satu bank, berpartner di sana, dan akhirnya sama-sama resign karena alasan yang sama, hijrah.

Yup ... Aku sudah lama berkeinginan untuk memakai hijab yang lebih lebar, sedikit demi sedikit memperbaiki kualitas ibadah ku. Sudah lama juga menahan diri untuk resign dari bank, tapi rencana ku masih maju mundur, karena bapak belum memberi izin,

"Cari kerja sekarang sulit, dapet kerja di bank, enak, gak usah panas-panasan, gaji gede, apalagi yang kamu cari, Val?"

Bapak selalu begitu. Niat ku untuk resign selalu direntang.

Gayung bersambut, ketika aku mengutarakan ini ke Rangga,

"Yuk lah kita resign. Gw lagi ngembangin bisnis kecil-kecilan, udah ada 2 staf. Kalo lu mau join, gw siap kok berpartner."

Setelah ngobrol panjang lebar dengan Rangga, aku melihat peluang bagus. Dengan insting bisnis dan perencanaannya yang lumayan ditunjang dengan otak uangnya Rangga, kami bakal jadi partner cocok.

Balik ke persoalan pak Andre,

"Yo weis lah ... Nanti kita ke ruko nya, sambil gw rinciin lagi untung rugi dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bakal dihadapi, kalo dia keukeuh di situ. Lu udah punya calon daerah lain untuk toko kue nya, kan?"

"Udah, gw coba tawarin di sekitaran Unila atau Sukabumi. Karena toko kue nya kan memang sasaran pasarnya untuk menengah ke bawah. Branding-nya udah dibuat begitu."

Dan begitulah kami berdiskusi, di pagi menjelang siang tersebut.

Selesai diskusi dengan Rangga, aku merasa perutnya menabuh genderang perang, aku baru ingat, terakhir makan kemarin sore. Perut ini hanya dialiri kopi segelas dan setelahnya aku mendesign beberapa busssines plan untuk klien yang lain.

Ketika baru saja mau pesan makan, Rangga masuk ke ruangannya dan menyodorkan sebungkus bubur ayam,

"Bubur ayam, plus sate usus 2 dan sate telur puyuh 2. No kacang kedelai, no kuah, sambel 2 sendok, kecap sedikit, dan bawang goreng yang banyak. Makan dulu gih, waktu ngobrol tadi perut lu bunyi gitu, kesian cacing-cacing di situ."

Aku tertawa, Rangga gak pernah lupa sama makanan kesukaan ku ini.

"Thanks, ya. Lu gak makan?"

Rangga bergidik, "lebih baik gw disuruh push up 500 kali, dibandingkan disuruh masukin itu bubur ke mulut, hiiii ..." Ucapnya sembari bergidik.

Tidak berapa lama,

"Assalamualaikum, hai calon suami. Gimana kabarnya hari ini?"

Bianca, cewe baru lulus SMA, yang manis, imut, calon tunangannya Rangga masuk ke ruangan. Agak risih sih ngeliatnya, Rangga juga begitu. Tapi ... Ah ... Itu urusan mereka

"Ngobrol di luar, yuk. Val lagi makan."

Aku hanya tersenyum, mengangguk ke arah Bianca,

"Hei ... Ini berapa, harga buburnya?" Aku baru sadar, belum bayar ke Rangga.

"Makan aja, gak usah dibayar." Jawab Rangga sambil lalu, ditingkahi sautan Bianca,

"Aku juga mau donk, dibeliin bubur sama calon suami."

Duh ... Ngedenger ya, gimanaa gitu ...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ValTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang