22 : Resilience in Despair

305 48 3
                                    

Jungkook berdehem pelan, suaranya seperti bisikan yang menyentuh udara senja di dalam ruangan sunyi itu. Langit di luar jendela telah berubah kelam, seolah turut berduka atas nasib yang tidak lagi bisa diputar. Yerin, yang sejak tadi menatap kosong ke arah Taehyung, perlahan memalingkan wajahnya. Sepasang mata yang basah namun tidak lagi sanggup menangis itu kini bertemu dengan tatapan Jungkook. Di sana, di dalam sorot matanya, tergurat keletihan tanpa ujung.

"Jeon Jungkook?" suara Yerin terdengar serupa bisikan yang patah, seperti sekuntum bunga yang melepaskan kelopaknya sebelum sempat berkembang sempurna.

Jungkook membalas dengan senyum yang hampir tidak terlihat—senyum yang hanya berfungsi sebagai formalitas, menyembunyikan rasa bersalah yang berkarat di dalam dadanya. Perlahan, ia mendekat, tiap langkahnya terasa seperti beban yang menggantung di atas takdir.

"Bagaimana keadaan Taehyung?" tanyanya, meskipun ia tahu, jawaban dari pertanyaan itu telah terpatri jelas pada setiap helaan nafas Yerin yang tersisa. Mata gadis itu, yang dihiasi lingkaran hitam kelelahan, mengisahkan lebih banyak daripada seribu kata.

Yerin tersenyum miris, bibirnya bergerak namun tidak ada keceriaan yang menemaninya. "Ia masih di sini, namun jiwanya seperti berada di ambang batas. Kita hanya bisa berharap, meski harapan terkadang tampak begitu sia-sia dalam keadaan seperti ini."

Jungkook menghela nafas panjang, suara nafasnya menggema dalam kesunyian ruangan yang diisi oleh dentingan mesin kehidupan. Pandangannya tidak lepas dari tubuh Taehyung yang terbaring tidak berdaya, dilingkupi oleh berbagai alat yang memaksa tubuh itu tetap hidup. Namun, ia tahu, tidak ada mesin yang bisa memaksa jiwa untuk bertahan bila sudah tidak ada kehendak untuk terus berjuang.

"Maafkan aku, Yerin. Aku yang telah menyebabkan semua ini," ujar Jungkook, suaranya serak. Kata-kata itu terdengar berat, seolah-olah seluruh dunia ditumpahkan ke dalam satu kalimat yang tidak mampu meredam rasa bersalah yang membuncah di dalam dirinya.

Yerin memejamkan mata, bibirnya bergetar, namun ia mencoba tetap tegar. "Maaf? Apa gunanya maaf di saat seperti ini, Jungkook? Maaf tidak akan mampu memutar waktu, tidak akan mampu membangunkan orang yang sudah terlelap terlalu dalam. Kita semua telah salah. Bahkan seribu permohonan maaf sekalipun tidak akan mengubah apa yang telah terjadi. Kini, yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu, berharap keajaiban yang mungkin tidak akan pernah datang."

Air matanya jatuh lagi, setetes demi setetes, menimpa tangan Taehyung yang dingin. Tangannya yang mungil dan rapuh menggenggam tangan lelaki itu seakan ingin mengembalikan kehangatan yang telah menguap entah kemana. Sementara itu, Jungkook berdiri membatu di sisi mereka, hatinya bergejolak, bergulat dengan perasaan bersalah yang semakin mencengkeram.

"Jung Yerin," suara Jungkook terdengar lebih lembut kali ini, seperti angin lembut yang berbisik pada malam yang pekat, "izinkan aku berbicara sendiri dengan Taehyung. Ada hal yang harus kusampaikan kepadanya."

Yerin memandang Jungkook dalam diam, menyadari permintaan itu lebih dari sekadar permintaan sederhana. Ada sesuatu yang tersimpan dalam kedalaman hati lelaki itu, sesuatu yang tidak bisa dikata di hadapan siapapun, bahkan dirinya. Setelah sejenak ragu, ia mengangguk, melepaskan genggamannya pada tangan Taehyung, dan perlahan bangkit dari kursinya. Sebelum pergi, ia sempat menatap kedua lelaki itu dengan pandangan yang sendu—dua jiwa yang terikat oleh takdir, meski dalam bentuk permusuhan.

Jungkook duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Yerin. Dengan nafas yang teratur, ia menatap Taehyung. Tatapannya tajam, namun di dalamnya terselip rasa sakit yang sulit ia sembunyikan. Perlahan, ia meletakkan tangannya di atas tangan Taehyung yang kaku.

"Aku bodoh," kata Jungkook pelan, berbicara lebih kepada dirinya sendiri. "Aku selalu mengira diriku yang paling benar. Aku mengira kamu hanyalah musuh yang harus kukalahkan. Tapi, pada akhirnya, aku menyadari bahwa aku tidak lebih baik darimu, Taehyung."

Shadows of Reflection [revisi] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang