"Sebenarnya, aku tak tahu harus bagaimana lagi," ucap Chester merasa jatuh. Ia memandangi Mr. Edwin dengan tatapan frustrasi. "Bekerja paruh waktu bukanlah pilihan yang bagus. Namun, jika aku mengurusi semua sampai malam, bagaimana dengan Ibuku?"
Mr. Edwin melunturkan senyumnya. Ia kemudian berkata, "Kau memiliki bakat? Selain meracik kopi? Pasti ada."
"Aku tak bisa melakukan apa-apa. Dan jangan katakan aku memiliki bakat, Tuan." Chester memandangnya nanar. Mr. Edwin merasa terenyuh akan hal itu. "Aku akan mencoba bekerja di tempat lain, aku akan membagi waktu."
"Memangnya kerja apa?" tanya Mr. Edwin. "Aku mungkin bisa membantumu, Chester."
"Di pabrik, mungkin? Lalu-"
"Bagaimana dengan Nyonya Arabella, Chester?"
Ucapan itu membuat Chester terpaku. Benar juga, ia seharusnya bisa membagi waktu. Apalagi untuk Arabella, yang notabene tak bisa bangkit dari kasurnya.
Napas gusar itu semakin menggores hati Edwin. Ia melihat keputus asaan yang dirasakan karyawannya. "Aku akan membantumu."
"Bagaimana?"
"Aku akan memintamu bekerja sampai malam, maksudku bukan hanya sampai tengah hari. Namun, kuizinkan dirimu untuk mengurus Arabella di rumah. Namun, hanya kuberi waktu kira-kira tiga puluh menit."
Kepala Chester bergerak naik. Ia terkejut akan penuturan sang bos. "A-aku? Lalu, bagaimana dengan 30 menit itu?"
"Aku punya karyawan baru-"
"Jangan bilang kau akan menggantikan posisiku dengannya," ujar Chester dengan nada datar. Namun di sisi lain, ia merasa tak enak.
"Jelas tidak," Edwin berucap. "Atau, mungkin satu jam? Untuk waktu istirahatmu."
"Memangnya karyawan baru itu bekerja di bagian mana?" tanya Chester penasaran.
Kekehan Edwin membuat suasana sedikit mencair. "Barista. Namun, ia bisa meracik kopi, sama sepertimu."
"Kau mengajarinya?"
"Yah, hanya sedikit. Jadi, jika Nyonya Arabella membutuhkanmu, karyawan baruku bisa membantu." Edwin memungut rokok dari bungkus kotak berlapiskan perak. Kemudian menjepitnya di kedua jari-telunjuk dan tengah. "Kau mau?"
Gelengan kepala Chester menjelaskan ketidak-tarikannya pada rokok. Ia hanya tersenyum tak enak, lalu membalas, "Ah tidak, tapi terima kasih atas bantuanmu. Aku menerimanya. Dan, akan kulakukan mulai besok."
Edwin mengangguk senang. "Terima kasih juga, Chester. Semoga dengan bantuanku, uangmu cukup untuk mengobati ibumu. Semoga ia lekas sembuh."
***
Arabella hanya bisa terdiam. Tersenyum kecil, tapi dengan tatapan kosongnya. Tangannya yang berlapiskan tipisnya kulit kini hanya menampakkan tulangnya yang cukup jelas. Seluruh tubuhnya hampir habis dimakan penyakit. Kerutan matanya sangat jelas, dengan urat merah yang bertebaran di korneanya yang mulai kuning.
"Mom!" teriak Chester yang baru saja selesai dari pekerjaannya. Ia berlari menghampiri ibunya yang terkapar semakin lemah. "Ya Tuhan! Ada apa dengan Ibu?"
Tatapan Arabella tak bergerak sama sekali. Bahkan tak menyahut saat Chester memanggilnya berkali-kali. Namun, ketika anaknya mengguncang kedua bahunya, ia melirik dengan tatapan nanarnya.
"Biarkan Ibu pergi."
***
ga janji tapi mau nulis kek biasanya, 1000 kata perchapter, hehehhe
KAMU SEDANG MEMBACA
Asleep
RomanceAntara mimpi dan kenyataan yang tak bisa terbendung jelas. "Feel asleep. You're my euphoria, and my dysphoria."