BAB 6 - Bumbu Cinta yang Berkurang

63 32 0
                                    


Alhamdulillah, setelah menabung sekitar 2 tahun, aku dan Hamzah bisa membangun istana kami berdua. Walau tidak terlalu besar, tapi kami bersyukur akhirnya kami tidak bergantung lagi pada Mama atau Bunda.

Pernikahanku semakin sempurna dengan hadirnya Haafizhah dan Hakim. Hamzah juga terlihat bahagia dengan keluarga kecil kami. Sejak kepulangannya dari Swiss, dia terlihat lebih romantis. Dia sering memperlakukanku layaknya pengantin baru. Sungguh ini sebuah nikmat yang luar biasa.

Setiap tahun, Hamzah selalu merayakan ulang tahun pernikahan kami walau secara sederhana. Malah terkadang aku yang lupa saking sibuknya pekerjaan. Dia juga selalu menyisihkan waktu untuk keluarga. Walau hanya sekedar makan malam bersama.

"Happy Anniversary, Sayang." Ucap Hamzah seraya mengecup keningku. Aku membalasnya dengan pelukan hangat.

Tapi ternyata kebahagiaanku tak bertahan lama. Menjelang 10 tahun pernikahan, Hamzah menunjukkan perubahan yang berbeda. Dia tidak lagi romantis dan memberi perhatian seperti dulu.

Hamzah hampir setiap hari pulang larut malam dengan alasan lembur. Bahkan pernah tidak pulang dan tak ada kabar sama sekali.

Apa yang terjadi dengan Hamzah? Mengapa tak ada kabar seperti ini? Sebagai istri yang baik, aku tetap berusaha berprasangka baik padanya. Bisa jadi dia tidak ada kabar seperti ini karena handphonenya mati atau sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga tidak bisa diganggu gugat.

Walau tidak ada kepastian malam ini dia pulang atau tidak, aku tetap menunggunya pulang. Aku ingin makan malam bersamanya. Kadang aku sampai tertidur di sofa karena terlalu lama menunggunya.

"Makan dulu yuk Kak. Aku sengaja tadi nggak makan malam sama anak-anak karena menunggu Kakak pulang. Yuk makan sama-sama." Aku mengajaknya makan.

"Aku udah makan di kantor. Kamu makan aja sendiri. Aku cape, mau tidur. Oya, besok-besok makannya nggak usah nunggu aku. Kalo mau tidur, tidur aja. Aku bakal pulang malam terus. Kerjaan numpuk." Kata Hamzah, kemudian dia bergegas ke kamar.

Aku masih berusaha menerima perubahannya. Mungkin memang benar kerjaannya sedang banyak. Suamiku memang sangat gigih mencari nafkah untuk menjaga derajat keluarga. Semoga Allah memperlancar rejekinya.

"Aku besok keluar kota selama seminggu, tolong siapkan baju-bajuku." Kata Hamzah sebelum kami tidur.

"Mau ke mana, Kak? Kenapa lama banget? Sebelum-sebelumnya kamu belum pernah keluar kota." Tanyaku bingung.

"Ada proyek di sana. Sebenarnya temanku yang berangkat, tapi karena dia nggak bisa, jadi aku yang di pilih. Udah kamu nggak usah mikir macam-macam, aku nggak akan ngapa-ngapa'in kok." Hamzah meyakinkanku.

Dengan berat hati aku melepas kepergian Hamzah hari ini. Dia berjanji akan memberiku kabar setiap hari.

"Ayah kapan pulangnya kapan?" Tanya Hakim.

"Minggu depan. Jaga Kak Haafizhah dan Ibu ya." Pesan Hamzah pada Hakim.

Langit sudah gelap. Adzan Isya telah berkumandang. Hamzah berjanji akan menghubungiku bakda Magrib. Tapi sampai Isya tiba, di handphoneku belum juga handphoneku belum ada notifikasi darinya.

Aku mencoba berprasangka baik padanya. Mungkin handphonenya mati, atau mungkin dia sudah tidur karena terlalu lelah bekerja.

Hingga matahari terbit, Hamzah belum juga memberi kabar. Mungkin dia langsung bekerja hingga tidak sempat memberi kabar. Dia memang ingin segera menyelesaikan pekerjaannya supaya bisa segera pulang.

Alhamdulillah, saat aku jeda makan siang di kantor, Hamzah mengirimku pesan, katanya dia semalam kelelahan karena banyaknya pekerjaan. Aku lega akhirnya Hamzah memberi kabar.

TAKDIR CINTA [DALAM PROSES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang