Haidar duduk menyandar pada kursi kayu di dalam perpustakaan. Dia menyilangkan tangannya di depan dada. Kakinya dia gerakkan kesana kemari tidak tenang. Adara duduk di hadapannya sedang menceramahinya tentang banyak hal. Ini sudah hampir setengah jam dan dia mulai merasa bosan.
"Kamu udah kelas dua belas Haidar!" untuk kesekian kalinya Adara mengatakan ini.
"Berangkat sekolah tepat waktu. Jangan sampe telat. Masa gitu aja nggak bisa?"
"Percuma kamu bangun pagi kalo ujung-ujungnya telat ke sekolah!"
"Kalo kamu berangkat dari rumah waktunya mepet kan jadi beresiko di jalan pas kamu naik motor ke sini. Kamu pasti kebut-kebutan nggak sayang nyawa!"
"Dar, kamu udah gede plis jangan seenaknya sendiri, disiplin dong!"
"Dengerin aku ngomong!" bentak Adara saat Haidar memalingkan wajahnya ke samping melihat-lihat rak buku yang menjulang tinggi.
Haidar meringis, menggaruk belakang kepalanya dengan frustasi, "Iya, sayang. Ini aku dengerin kok."
"Aku ngomong apa dari tadi?!"
"Supaya aku lebih disiplin, jangan telat lagi berangkat sekolahnya." jawab Haidar dengan nada datar.
"Nah, itu! Jangan cuma didengerin terus iya-iya aja! Tapi dipraktekin!"
"Iya, sayangku."
Haidar meregangkan otot punggungnya yang mulai pegal. Dia sulit bergerak sejak tadi. Mana sedari tadi perpustakaan sepi, dia ingin kabur kan jadi susah. Membuat Adara semakin leluasa membentaknya dengan suara keras karena perpustakaan hanya dihuni mereka dan penjaga perpus yang sudah angkat tangan memperingatkan Adara agar memelankan volume suaranya.
"Nih, dipake!" Adara memberikan dasi sekolah kepada Haidar, dia membelinya di koperasi tadi seusai upacara bendera. Dia sempat melihat Haidar tidak mengenakkan dasinya, jadi sudah dipastikan anak itu kehilangan dasinya. Lalu dengan kesadaran dan tingkat perhatian yang tinggi, sebagai pacar yang baik Adara membelikan dasi untuk Haidar tanpa diminta, "Jangan teledor lagi naroh dasi sembarangan!"
Haidar tersenyum lebar menerima dasi yang Adara ulurkan padanya, "Asik, dasi baru." katanya.
"Dipake, terus disimpan yang bener." Haidar hanya mengangguk.
Adara memperhatikan Haidar yang masih memainkan dasi pemberiannya, bukannya dililitkan di kerah leher, Haidar malah mengikatkan benda itu di kepalanya. Membuat Adara menonton dengan pasrah tingkah laku Haidar. Aneh, pacarnya tidak normal.
"Pake yang bener ih, kayak preman tau diiket di kepala gitu." protes Adara tidak tahan untuk tidak komentar.
"Bagus tau, yang. Makin ganteng kan aku?"
Adara mengerutkan kening, dia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Haidar.
"Hm, terserah lu dah." Adara mengalah. Asalkan Haidar senang dia akan ikut senang.
Jeda sejenak, Haidar membolak balik buku tebal di depannya tanpa minat. Buku ensiklopedia tidak cocok dengannya. Dia tidak suka bacaan berat, meski kadang dia harus memaksakan diri membaca buku agar olimpiade sains-nya berjalan lancar. Tapi memang Haidar ini tipe cerdas yang tidak perlu bersusah payah belajar namun hasilnya sangat memuaskan. Otaknya sudah dirancang Tuhan dengan sangat baik, dengan membaca sekilas atau diberi penjelasan sekali dia bisa langsung paham. Makanya, anaknya jadi sesukanya sendiri seperti ini. Dia merasa belajar terlalu monoton, dia butuh hal lain yang memacu adrenalinnya. Contohnya, membuat ulah di sekolah dan dihukum karena itu. Menurut Haidar hal seperti itu lebih seru untuk dilakukan dari pada berdiam diri di kelas mendengarkan pelajaran. Meski dia harus menanggung dikecam sana sini. Mendapat omelan dari banyak pihak juga, baik gurunya, sahabatnya, keluarganya, bahkan pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.