SUSTER MARIA

36 5 1
                                    


Oleh: Hans

Sirine ambulan terdengar meraung-raung di pagi buta. Di dalam mobil tubuhku terbaring lemas, pandangan gelap. Penusukan di bagian perut yang dilakukan orang yang tidak dikenal membuatku kehilangan banyak darah. Darah berceceran di mana-mana. Ketika tiba di IGD beberapa orang perawat dengan sigap menurunkan tubuhku dari dalam ambulan.
Walau samar, masih bisa kudengar seorang perawat melaporkan kondisiku pada dokter jaga.
“Dok, pasien menderita luka robek dibagian perut. Dengan panjang luka kurang lebih dua puluh senti, perdarahan aktif, kesadaran pasien samnolen. Tensi sembilan puluh per tujuh puluh, nadi delapan puluh kali per menit, respirasi masih normal dua puluh kali permenit.
“Coba periksa apa lukanya sampai ke bagian intra abdomen?"
“Sepertinya begitu, Dok!”
“Ok, ini perlu tindakan Cito. Segera pasang infus! Hubungi dokter Amin, kita harus lakukan tindakan operasi!” dokter Akmal memberi perintah.
Mendengar diskusi dokter dan perawat, dalam benak aku bertanya ‘Ruang bedah? Ya Tuhan, apakah malaikat maut telah dekat?’
Tidak lama setelah terjadi koordinasi dengan dokter bedah, tubuhku dipindahkan ke ruangan khusus.
“Sediakan perlengkapan operasi!” Ucap dokter Amin lalu segera mengenakan pakaian khusus operasi.
Di luar ruang tindakan terdengar suara mama terus menangis, ia menunggu penuh harap cemas menantikan perkembangan operasi. Setelah berjalan satu jam tindakan operasipun selesai dilaksanakan. Dokter Amin keluar ruangan setelah ia menyelesaikan semua tugasnya.
Ketika pintu ruangan tindakan dibuka, seorang perempuan paruh baya langsung menghambur ke arah dokter Amin, “gimana keadaan anak saya, Dok?”
"Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar, hanya dia perlu banyak istrahat karena sobekan pisau  mengenai lambungnya dan peluru yang menembus kakinya akan membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama,” jelas dokter Amin sambil menenangkan mama yang terlihat begitu cemas.
"Bolehkah saya melihat anak saya Bhobby, Dok?" tanya mama yang belum bisa tenang sejak tadi.
"Silahkan bu.  Suster Diah, tolong antarkan ibu Gina ke kamar pasien yang bernama Bhobby.”
“Baik, Dok.”
Diantar seorang perawat bernama Diah,  mama bergegas menuju ruangan tempat anak semata wayangnya dirawat. Saat itu tubuhku  terbaring lemah di ranjang ruang penyakit bedah Rumah Sakit Umum Kota Semarang.
Jam menunjukkan pukul dua siang, waktunya pergantian shift.
"Aku pulang duluan yah, jangan lupa untuk mengganti perban dan menyuntikkan anti nyeri pada pasien diruangan 408". Sambil menarik tas kecil berwarna coklat yang selalu di kenakannya, dokter Amin kemudian meninggalkan ruangan.
"Oke, baik. Hati-hati ya, Dok!” jawab salah seorang  perawat yang akan melanjutkan shift berikutnya, sambil melambaikan tangannya kepada suster Diah.
“Bagaimana pasien hari ini, Mba? Apa ada yang gawat?” tanya suster yang bernama Maria.
“Semua masih terkendali. Tapi ada satu pasien yang harus diobservasi penuh.”
Sambil membolak balikan buku register pasien, Maria membaca satu persatu kondisi pasien yang akan dijaga bersama tiga rekannya. Setelah sesi operan pasien selesai, masing-masing perawat mulai menjalankan tugasnya.
Suara troli menyusuri gang-gang di ruang VIP Rumah Sakit menuju ruangan 408. Tak butuh waktu lama, pintu ruangan 408 di buka.
"Rupanya Kakak sudah terbangun?" tampak seorang perawat di sampingku, ia sedang mengganti cairan infus.
"Siapa namamu?" tak menggagas basa basi yang di lemparkan oleh perawat.
"Nama saya Maria Oktaviana Musdalifah, saya suster yang akan menjaga kakak hingga pukul sembilan malam nanti,” jawabnya dengan senyum terus menghiasi wajah.
"Apakah kau membawakanku sesuatu yang bisa ku makan? Aku kelaparan, dari semalam belum makan.”
"Saya membawakan bubur. Kakak baru saja pulih dari luka operasi, jadi belum bisa makan nasi.”
"Kau pikir aku anak bayi, harus memakan bubur?!!"
Tanpa menggagas ucapanku, perawat itu lalu berusaha menyuapi.  Baru sendokan pertama tiba-tiba, “PRAKK” aku memukul sendok itu dari tangan Maria sehingga sendok itu terlempar mengenai pintu.
"Buang bubur itu, aku bukan anak bayi yang harus kau suapi!!!"
"Kakak belum boleh makan sesuatu yang keras, lambung kakak masih luka.” Perawat itu menjelaskan sambil berusaha tetap tersenyum.
"Berikan bubur itu, aku akan memakannya sendiri!!!".
Setelah mengambilkan sendok di dalam lemari dekat televisi, suster itu kembali mencoba menyuapiku lagi.
“Sini sendoknya. Aku bisa sendiri!” Aku benar-benar sangat kelaparan, lebih dari 48 jam tidak ada makanan masuk ke perut.
Suster maria lalu membereskan alat makan kemudian ia menyuntikkan anti nyeri pada selang infus, setelah itu ia meninggalkan aku sendiri.
Sebelum pergi Maria berkata, "kalau kakak membutuhkan sesuatu, tekan saja tombol pasien yang terletak diatas kiri kakak.” Sambil menarik pintu lalu pergi.
Aku  mengenang kembali kejadian yang terjadi kemarin malam. Peristiwa pengeroyokan yang di lakukan oleh orang yang tidak dikenal sungguh membuatku marah. Tapi aku hanya bisa  memendam dendam akan segala sesuatu yang terjadi di malam itu.
Tiga hari sudah aku terbaring lemas di atas tempat tidur pasien, tetapi tak seorangpun kawan yang menjenguk. Kini aku sadar semua teman yang  kumiliki hanya ada pada saat bahagia saja, tapi ketika aku kesusahan tak satupun yang datang. Tiba-tiba aku teringat pesan mama‘ kau akan ditahu teman saat kau berhasil dan kau akan mengenal siapa temanmu saat kau gagal’.
" Maria! Maria! Maria!!!  Segera kemari. Maria!!! "
"Ada apa Kak? Kenapa berteriak-teriak? Kan kakak bisa tekan tombol pasien.” Suster Maria datang denga tergopoh-gopoh. Tapi tetap dengan seulas senyum yang tersungging di bibirnya.
"Aku sangat bosan disini, ajak aku keliling. Mencium bau ruangan ini sungguh membuatku muak!”
“Jadi kakak merasa bosan? Kalau begitu tunggu sebentar, aku segera kembali. " Sambil berlalu meninggalkan ruangan itu.
Maria datang sambil membawa kursi roda lalu membawaku ke taman Rumah Sakit. Kami melewati lorong rumah sakit. Setibanya di taman,  suster Maria membiarkanku duduk sendiri di atas kursi roda sambil menikmati keindahan dan wangi bunga. Aku memandangi wanita itu, dalam hati berkata ‘seandainya kekasihku yang merawatku disini mungkin aku sangat bahagia, tapi walau semenitpun dia tak pernah muncul untuk berkunjung’.
***
Dua minggu berada di rumah sakit, selama itu pula Maria merawatku. Walau aku sering marah-marah, tapi Maria tetap merawatku dengan sabar dan telaten. Perawat yang lain banyak yang mengeluh karena sikapku yang terkadang kasar.
Maria datang membawa peralatan medis, ia akan mengganti verban.
“Pagi, Kak. Saya ganti verbannya dulu ya.”
“Ganti verban lagi? oh ya, berapa lama lagi sih aku harus berada di sini?”
“Sabar, Kak. Dokter belum membolehkan pulang,” jawab Maria sambil pelan-pelan membuka plaster yang menempel di bagian perut.
“Aw! Pelan-pelan buka plesternya. Sakit!”
“Maaf Ka!” Maria agak sedikit terkejut. “Saya usahakan pelan-pelan, supaya tidak terlalu sakit.”
Aku memandangi wajah Maria yang sedang mengganti verban. Kenapa wanita ini tidak pernah marah, kenapa ia berbeda dengan perawat-perawat lainnya?. Tiba-tiba desir darah mengalir hangat di tubuhku. Diam-diam kuperhatika bola mata Maria yang tampak bening, pandangannya selalu teduh menyejukkan. Hidungnya mancung dan bibir mungil semerah cherry selalu dihiasi senyum.  Kenapa aku baru menyadari wanita yang selama ini merawatku begitu cantik dan baik hati.  Masih asyik menikmati semua keindahan dihadapanku tiba-tiba, “Sudah selesai, Kak.” Maria tampak sedikit kikuk. Lalu ia menutupkan selimut ke tubuhku.
“Oh iya. Terima kasih.” aku tak kalah grogi, karena ketahuan diam-diam mengagumi kecantikan Maria.
Tak terasa sebulan sudah aku mendekam di Rumah sakit, Dokter pun mengizinkan pulang. Tapi entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang. Padahal seharusnya bahagia, karena telah diijinkan pulang.
Saat akan meninggalkan Rumah sakit, aku mencari keberadaan suster Maria, tapi tidak ditemukan. Lalu pergi menuju loby dan bertanya kepada suster yang sedang jaga.
"Dari tadi saya tidak melihat suster Maria, apa ia sedang libur? " sambil melirik ke kiri dan kanan ruangan, berharap menemukan Maria.
"Dia sedang ada kesibukkan. " jawab perawat jaga singkat.
Aku  meninggalkan Rumah sakit dengan penuh kekecewaan, sepulang dari Rumah sakit aku terus mengurung diri di kamar dengan penuh kerinduan kepada suster Maria. Masih asyik dengan lamunan,  tiba-tiba bel rumah berbunyi.
"Ma, ada tamu tuh. Ma?" Aku lalu berdiri dan membuka pintu karena merasa mama tidak kunjung membuka pintu. “Mama kemana sih?” Aku menggerutu kesal.
Ketika pintu dibuka, betapa terkejutnya aku melihat suster Maria berdiri di hadapanku. “Maria?!” beberapa detik aku sempat tidak percaya siapa yang berada dihadapanku. “Masuklah, biar ku buatkan minum dulu untukmu".
"Tidak usah repot, aku sedang buru-buru. Bagaimana kabarmu?” Sambil mengambil posisi duduk di depanku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena dia tahu aku sedang tidak baik baik saja. Aku langsung meraih tangannya lalu ku ungkapkan semua kerinduanku.
“Maria, sebelum pulang dari rumah sakit aku mencarimu, tapi kamu tidak ada.”
"Maaf.” Maria menepis pelan tanganku. “Mungkin langsung saja, aku kesini ingin meminta keringanan hukuman untuk suamiku. Suamiku adalah salah seorang pelaku pengeroyokan itu."  Jawabnya.
“Apa, suami? ... tunggu, apa maksudmu?”
“Aku minta maaf, karena ... suamiku yang telah merobek bagian perutmu.” Terdengar suara Maria agak terbata-bata.
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Tapi Maria sepertinya sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Raut wajahnya sangat serius, berbeda sekali dengan ketika merawatku di rumah sakit.
"Pulanglah, sebentar lagi laporannya akan kucabut. " jawabku singkat dan berdiri membukakan pintu untuknya.
Dia pun berlalu, meninggalkan ku dengan perasaan sesak. Tiba-tiba ada nyeri yang jauh lebih sakit dari luka di bagian perutku.

SUSTER MARIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang