Prolog

15 1 0
                                    

Beep.
Beep.
Beep.

Irama detak jantung yang terdengar dari sebuah alat mengisi seluruh penjuru ruangan kecil itu. Hembusan angin yang tak diundang menerpa masuk ke dalam, dan membelah dua helaian kain putih yang menggantung di jedela, memberikan akses bagi sang rembulan untuk menampakkan sinarnya seolah menyapa dua manusia yang sedang bertautan tangan di dalamnya.

Tangan keriput itu membelai lembut benda hitam yang ada di hadapannya, sambil sesekali membetulkan bentuknya yang berantakan.

Manik mata berwarna violet itu menatap fokus ke arah pemilik tangan keriput tadi, seolah pusat dunia sedang berada di hadapannya.

Kedua tangan keriput tadi terangkat ke udara, kemudian saling bertautan satu dengan yang lainnya, "Dan mereka semua hidup bahagia untuk selama-lamanya. Selesai."
Senyum lemah namun hangat kemudian menutup cerita pengantar tidur yang baru saja terdengar.

Seolah tak puas, kerutan halus mulai terlihat di kening seorang gadis yang sejak tadi berperan sebagai pendengar. Tubuhnya ditegakkan dan kedua tangan bersila di depan dadanya. Ia menghembuskan napas lalu berkata, "Itu tampak tidak realistis, nanny. Kenapa kisah yang kau ceritakan selalu memiliki akhir yang bahagia?" Alis gadis itu terangkat ke atas, menuntut penjelasan atas pertanyaannya barusan.

"Bukankah itu bagus? Nanny pikir kau menyukai semua cerita seperti itu." Wanita tua yang sedang berbaring di atas tempat tidur itu ikut bangun dan ikut menegakkan tubuhnya, kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku.. memang menyukainya. Aku suka apapun yang kau ceritakan. Tapi tetap saja, menurutku itu aneh."

"Bagian mana yang menurutmu aneh?"

Tanpa memberi jeda untuk sekedar berpikir, gadis itu segera menjawab,  "Semuanya. Dari awal hingga akhir. Tokoh utama dalam ceritamu selalu tampak menyedihkan. Tanpa keluarga, tanpa teman, bahkan tanpa uang sedikit pun. Bukankah itu aneh, seseorang dalam cerita yang tidak memiliki apapun untuk bisa dibanggakan, justru menjadi tokoh utama?"

Wanita yang dipanggil nanny itu memiringkan sedikit kepalanya dan menatap gadis yang sedang duduk di hadapannya itu.

"Seseorang sepertimu?" tanyanya.

Gadis itu mengerutkan bibirnya, dan membiarkan punggungnya bersandar, disangga oleh kayu di belakangnya.

"Itu karena nanny selalu menggunakan namaku sebagai tokoh utama. Kau punya banyak cerita, tapi aku yang selalu jadi tokoh utamanya. Itu menyedihkan, nanny."

Wanita tua itu mengatur bantal di belakangnya agar bisa digunakan untuk menyangga punggungnya yang rapuh. "Tapi bukankah kau selalu mendapat akhir yang bahagia?"
tanyanya lagi.

"Di situlah titik menyedihkannya, nanny." Mata violet itu seolah memancarkan warnanya yang terang. "Aku harus kehilangan banyak hal terlebih dahulu agar bisa mendapat akhir yang bahagia. Aku hanya punya nanny. Menurutmu apa yang harus aku lakukan kalau sampai kehilanganmu? Mengorbankan apa yang aku miliki, hanya demi mendapatkan sesuatu yang baru." Kepalanya digelengkan ke kiri dan ke kanan, menunjukkan ketidaksetujuannya. "Itu menyedihkan." ujar gadis itu.

Ada hening yang cukup panjang mengisi di tengah-tengah percakapan dua perempuan itu. Hanya terdengar suara detak jantung yang keluar dari sebuah monitor di dalam ruangan itu.

The Main LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang