Peristiwa satu

103 23 32
                                    

Angin nakal itu berembus, menerpa dedaunan--menari-nari karenanya. Matahari masih di atas kepala, sengatan panasnya bisa dirasakan pada jalan desa beralaskan tanah. Di sekitar hanya terlihat rerumputan hijau dan beberapa pohon menjulang tinggi, menghalau sinar matahari untuk menerangi jalan. Terdapat beberapa bunga liar yang berada di tepi jalan, bersatu dengan rerumputan yang ada di sekitarnya.

Dalam hutan yang sepi terdapat dua orang yang ada di sana dengan diwarnai tawa yang menyenangkan dari salah satu pihak, tingginya tidak sejajar dengan tangan yang terlihat saling terhubung satu sama lain. Senandung ceria terdengar dari arah mereka, terik matahari bahkan tidak dihiraukan.

Kedua netra hijau itu sibuk memperhatikan sekitar sambil bersenandung senang, kaki kecilnya 'tak jarang meloncat agar bisa sejajar dengan langkah yang lebih besar. Kekehan lolos, laki-laki yang ada di sampingnya itu beriris mata coklat, menenangkan. Iris coklat itu berganti menatap gadis kecil dengan senyuman tipis di bibirnya, mimik wajahnya terkadang sangat susah untuk berganti, bahkan jika seseorang bertemu langsung mungkin dia menganggapnya tidak bisa tersenyum. Namun, entah kenapa sorot mata coklat itu terlihat menenangkan saat ditatap semua orang.

Begitu pula netra hijau milik sang gadis yang mengingatkan laki-laki itu dengan sebuah batu indah berwarna hijau--zamrud, memang ia tidak pernah menatapnya langsung. Namun, ia yakin pasti sangat indah seperti yang pernah ia lihat dari netra putri kecilnya tersebut. Senyuman selalu mengembang pada wajahnya, pipinya berlapiskan rona merah dengan surai yang bergelombang berwarna hitam.

"Ayah! Apa menurutmu aku bisa terbang seperti para burung?" pertanyaan itu terucap dari bibir putri kecilnya. Dengan polosnya ia menanyakan pertanyaan seperti itu setiap harinya.

Ia ingat.

Putri kecilnya itu selalu menanyakan hal-hal yang tidak bisa ia jawab.

'Ayah, kenapa bintang itu bersinar di malam hari?'

'Ayah, kenapa matahari dan bulan tidak bisa bertemu?'

'Ayah, apa matahari tidak sendirian di sana?'

Sang ayah hanya menatapnya, ia membalas dengan seadanya. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya dengan sebuah logika bak profesor atau dokter di kota. Dengan polosnya putrinya itu percaya dengannya.

"Mungkin ... mungkin kau bisa," jawabnya, yang terdengar meragukan, tapi gadis kecil itu langsung mempercayainya.

"Benarkah? Aku mau mencobanya!" putrinya tersenyum--menampilkan deretan gigi putih yang berjajar rapi.

Gandengan tangan dilepas ia berlari dengan kedua tangan ia rentangkan bak sayap burung yang tengah terbang bebas di angkasa. Tawanya menggema.

Untuk pertama kalinya. Ia menyesal. Sang ayah terkejut putrinya melepas gandengannya, ia hendak menggapai tangan gadis kecil itu, tapi sudah terlambat. Ia berlari menjauhinya.

"OLIF!" teriaknya sambil bergegas ke arah putrinya.

Beberapa detik setelahnya putrinya itu terjatuh--terjerumus ke dalam jurang. Kaki kecilnya berlari, gadis kecil itu tidak tahu jika ada sebuah jurang di sana. Semak belukar yang ada di sekitar menutup pandangan pada tepi jurang yang lumayan dalam. Sedangkan putrinya itu tengah berlari ke arahnya. Teriakan sang ayah tidak begitu didengar, seolah telinganya menuli karena angin yang mulai berbisik di sekitarnya. Rambutnya melawan arah gravitasi sambil mengikuti langkah kecil sang gadis.

"JANGAN KE ARAH SANA!"

Dengan hitungan detik dan karena kecerobohan Olif--putrinya sendiri. Kaki kecilnya tergelincir hingga jatuh ke jurang. Tubuhnya itu tertarik karena gravitasi bumi hingga terjatuh dan dengan hitungan detik kelopak mata itu menyembunyikan sang netra hijau.

Olifia's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang