6. PRASANGKA

41 8 1
                                    

Hari menjelang sore, pukul 4 lebih lima belas menit. Sekolah masih ramai, beberapa menggerombol menyetel android mereka yang disambung earphone ditelinga. Ada yang berdiam di kelas, sekedar melanjutkan mimpi atau mengusir lelah setelah seharian bergelut dengan jadwal clasmeeting yang padat dan menguras tenaga. Hari ini hari pertama. Masih 3 hari lagi sebelum libur panjang menyapa kami akhir tahun ini. Menonton streaming-an drama idol-idol K-pop, membaca novel dan bergosip ria. Bukan tanpa apa-apa. Tapi karena semenjak satu jam yang lalu hujan deras mengguyur dan masih meninggalkan gerimis. Aroma tanah basah kembali menyeruak beberapa hari ini. Ditambah udara dingin yang membeku menembus kulit sampai ke tulang.

Aku kembali merapatkan jaketku, menggosok-gosokkan kedua telapak tangan untuk menciptakan kehangatan. Melipatkan kaki dan bersandar di bangku lorong depan kelas sembari menunggu hujan reda untuk pulang karena sial mantol kesayanganku tertinggal di rumah. Bola mataku melihat pemandangan anak-anak cowok yang sedang bermain sepak bola di tengah-tengah gerimisnya hujan. Suara riuh sorakan mereka pun menggema bersahut-sahutan. Apalagi saat berhasil mencetak gol. Sungguh, kearifan luar biasa yang masih dapat kulihat sebelum android-android itu membuat mereka kecanduan dan hilang rasa kesetiakawanan.

"Sumpah Ki. Lo hebat bener bisa lolos tes tertulis tadi? Gue shock tahu nggak kelas kita disebut masuk final," heboh Rani sembari menghuyung-huyungkan tubuhku.

Aku terdiam cukup lama hingga kemudian mulai membuka suara, "Yha Alhamdulillah, rejeki kita kali. Gue aja kemaren instagraman terus tidur bahkan berharap nggak lolos. Pleasee, jujur gue nggak belajar Raniaa."

"Halah lah lah lahh!  Stop bilang itu ya Ki. Gue itu paling muak denger ocehan Lo yang nggak pernah belajar tapi nilai selalu A. Gue nggak pernah percaya!" kritik Rania memanas kuping.

"HUUHHH," aku menghela napas kasar. Dan memutar bola mataku malas ke atas. Sudah tahu, Rania pasti akan mengatakan hal itu tiap kali aku mencoba jujur kepadanya. Jadi percuma.

"Tapi enggak. Gue bakalan berjuang supaya kelas kita bisa lolos dan jadi juara," ucapkan sembari mengangkatkan tangan kanannya dan mengepal.

"Ngambis banget sih!" sontakku menyernyitkan alis.

"Nggak usah gengsi gitu kali, Ki. Kalian berdua itu cocok kok," ucapnya menyimpulkan senyum miring girang meledekku puas. "Dan, ya, gue perhatiin. Muka kalian itu mirip, jangan-jangan kalian itu,"
Degupku kembali tak beraturan ditohok pertanyaan yang selama ini mengacaukan perasaanku, "Jangan-jangan apa?" pelotoku padanya.
"Jangan-jangan kalian itu JODOH!" ucap Rani terkekeh-kekeh.
"HUH" aku menghembuskan napas panjang, "SYUKURLAH. Alhamdulillah aja dia nggak mikir aneh-aneh," aku membuang pandangku perlahan ke samping.

"Udahlah, bisa nggak sih sekali-kali nggak ngerecokin mulu!" sentakku sebal.

"Hhhmmm, ENGGAK!" tawa Rania lagi sekarang sorot mata coklat tuanya menelisik ke arah lapangan. "E-ehh Ran, (menepuk-nepuk bahuku) itu Nando kan?" sontak Rani mengalihkan pembicaraan hingga aku kemudian mengikuti arah telunjuknya hingga kami sama-sama melihat Tamara dan Nando sedang berdiri di tepi lapangan di bawah payung abu-abu warnanya. Gadis itu tampak mengusap kepala Nando yang basah ditimpa hujan dengan handuk kecil sembari tatapan mesra saling terlempar dari keduanya.

"Apa???? Nando sama Tamara pacaran???" pekik Rania.

"Yha, baguslah. Emang cocok kok mereka," ucapku otomatis.

"Lo gila??? Mana ada cocoknya coba, malah kasihan gue sama Nando kalau bener pacaran sama mak lampir kayak dia. Gue benci banget sama tuh bocah. Kecentilan, sok," umpat Rania terbawa emosi.

"Dia itu emang pinter. Sama, kayak Nando. Picik dan licik!" pelototku otomatis ke arah Rania.

"Iihhh, kok Lo bilangnya gitu, sih Ki. Denger ya, Nando itu nggak seburuk yang Lo kira," dukung gadis itu sekarang melipatkan tangan dengan muka tertekuk.

ELIXIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang