Hari Pertama Masuk Sekolah

73 24 9
                                    

Karya : Malik

Beberapa orang berjas lalu-lalang di depanku. Ketukan kakinya pada lantai terdengar tegas dan berirama. Sebagian yang lain memilih menempelkan pantatnya di kursi kayu yang entah sudah ribu ke berapa diduduki. Semua orang di ruangan ini terlihat seperti hendak memamerkan kekayaan. Sepatu kulit yang dipakai para Bapak dan tas tangan mewah yang didekap para Ibu. Lengkap dengan segala aksesoris yang kerlap-kerlip.

Sementara itu, aku duduk dengan cemas. Kepalaku tertunduk, meski sesekali beralih memperhatikan orang lain. Sebenarnya, sejak malam tadi mata dan pikiranku tidak bisa diajak beristirahat. Tidak peduli burung hantu yang sudah mendengkur, hatiku tetap gelisah menghadapi hari esok.

Mungkin beranjak subuh aku baru bisa tidur. Itupun segera terbangun karena seorang pria dengan senyum hangatnya membangunkan. Kami bertemu dua bulan yang lalu, semenjak hari pertama dia yang terus membangunkanku di pagi hari.

"Udah siang Nak, cepet bangun! Kita sarapan bareng." Deretan gigi kuningnya menemani senyum hangat itu begitu aku membuka mata.

Aku segera pergi mencuci muka. Lalu duduk bersila dengan empat orang lainnya, menikmati sarapan pagi yang sama sekali tidak enak.

Setelah sarapan, aku berganti pakaian. Memakai baju khusus yang disebut seragam. Hatiku tidak menentu. Ada perasaan gugup bercampur takut. Bahkan aku hampir kencing di celana sebelum akhirnya Bapak Gigi Kuning itu menepuk bahuku, menyemangati.

Kini duduklah aku, disini. Di sebuah kursi tunggal sembari menunggu Ibu yang sejak tadi izin ke toilet. Sudah setengah jam, dan tanganku mulai berkeringat. "Kenapa Ibu lama sekali sih?" Gerutuku dalam hati.

Tanggal 07 Juli. Hari ini, hari pertama masuk sekolah. Setelah berlibur panjang hampir sebulan lamanya. Aku yakin, semua anak di luaran sana sedang antusias memilih bangku dan mencari kelas barunya. Dulu, aku juga mengalami.

Sambil menunggu Ibu kembali, aku tiba-tiba bernostalgia dengan masa sekolahku. Perasaan gugup dan takut yang kini kualami hampir serupa dengan yang aku rasakan 14 tahun lalu. Saat aku duduk di sebuah rungan berpapan tulis menunggu Ibu yang pergi ke toilet. Celana merahku yang hanya sepaha sudah basah, aku mengompol di hari pertama duduk di bangku sekolah dasar.

Tiba-tiba suasana jadi hening. Aku melirik ke arah pintu masuk. Tiga orang lekaki dengan wajah datar berjalan menuju kursi di depanku. Semua orang, termasuk aku segera menegakan badan. Duduk dengan cara yang menegangkan.

Kurasakan sebuah tepukan kecil di bahu. Ketika menoleh, wajah tua ibu langsung terlihat. Tangannya mengepak ke udara. Bibir yang di poles lipstick coklat itu tersenyum. Ada seruan "Semangat!" yang di ucapkan dengan pelan dari mulutnya.

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Ada rasa tenang yang mengalir perlahan menyelimuti hatiku. Setidaknya, ada satu orang di antara ribuan manusia di muka bumi ini yang menerimaku dengan tulus. Yang memberiku semangat dengan sayang. Setidaknya, ada ibu yang akan selalu bersamaku.

"Saudara Emiz Geovanka, dengan ini kami jatuhi hukuman seumur hidup penjara!"

Tok. Tok. Tok.

Palu hakim berbunyi tiga kali, pertanda keputusan sudah mutlak. Tidak ada kesempatan bernegosiasi meringankan hukuman.

Air mataku jatuh setetes. Hanya setetes karena aku langsung tersenyum setelahnya. Berterimakasih pada pengacara yang selama ini mati-matian membelaku. Juga kepada Ibu yang aku yakin selalu berdo'a siang malam.

Setelah itu, dua orang lelaki dengan tubuh kekar tinggi menggandengku dari dua sisi. Aku berdiri, meninggalkan ruang sidang.

Dua opsir penjara itu membawaku berjalan di sebuah lorong. Lorong dengan deretan kelas tanpa papan tulis, tanpa bangku dan guru. Kelas yang dingin dan kosong. Kakiku melangkah masuk ke salah satunya, masih mengenakan seragam yang sama. Seragam dengan tulisan "TAHANAN" yang dibuat dengan besar.

-Real, Kuningan 30Des2019-

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang