1. Pelarian

10 1 0
                                    

Air mata masih mengalir deras di pipi Rhea, ketika Dev menyeret tubuhnya untuk berlari di sepanjang koridor rumah sakit tempat nanny nya dirawat.

Atau sekarang, menjadi tempat di mana nanny nya "pernah" dirawat. Karena satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh gadis itu kini sudah tiada, dibunuh oleh teman baiknya di depan matanya sendiri.

Rhea masih berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pembunuh yang ada di depannya ini, tapi usahanya sia-sia. Dev menggenggam pergelangan tangan Rhea dengan sangat kencang, hingga rasanya kuku-kuku tajam sudah menancap di kulitnya.

"Lepaskan! Lepaskan tanganku! Teganya kau membunuh nanny!" Rhea masih memberontak dan berteriak sekuat tenaga, berharap agar ada orang yang mendengar dan menolongnya.

Tapi nihil.
Koridor itu tampak tidak berpenghuni sama sekali. Padahal baru kemarin diadakan acara bakti sosial di tempat ini, dan ada banyak penghuni rumah sakit yang datang.

Mata violet Rhea membulat dengan penuh, saat dilihatnya Dev masih menarik tangannya dan berlari dengan kecepatan penuh menuju sebuah jendela yang berada tak jauh di depan mereka.

Itu jalan buntu.

Itu jalan buntu, dan Dev masih tidak mengurangi kecepatannya. Rhea tidak percaya, setelah membunuh nanny nya, kini Dev berencana untuk melemparkan Rhea dari bangunan setinggi sembilan lantai begitu saja. Jika jatuh dari ketinggian ini dan menghantam tanah, sudah pasti tubuh Rhea akan hancur berantakan.

Tidak bisa.
Rhea tidak bisa mati seperti ini. Ia harus memanggil bantuan yang siapatau masih bisa menyelamatkan nyawa nanny nya, lalu menyerahkan Dev pada polisi atas tindakannya barusan dan kemudian baru menginterogasinya. Rhea harus tau alasan Dev memperlakukan nanny nya seperti tadi.

Tapi bagaimana? Kekuatan Rhea kalah jauh dengan Dev saat ini.

Saat masih memutar otaknya untuk mencari jalan keluar, kesadaran Rhea langsung kembali saat tubuhnya sudah menghantam kaca jendela, dan terjun dengan bebas. Teriakan melengking lolos dari mulut gadis itu, saat tubuhnya melayang dengan cepat dan siap menghantam aspal jalanan di bawahnya. 

Dev sudah gila. 

Ini bukan pembunuhan, tapi bunuh diri. Mereka berdua benar-benar terjun bebas dari lantai sembilan gedung rumah sakit itu.

Bruk!

Tubuh Rhea dan Dev menghantam aspal dan berguling ke depan.

Selesai sudah.
Hidupnya hanya berlangsung selama dua puluh tahun dengan dua kali percobaan pembunuhan, dan kali ini berhasil seratus persen. Saat Rhea sedang meratapi nasibnya, ia kemudian membuka mata hanya untuk terkejut melihat pemandangan di depan matanya.

Rhea melihat tubuhnya sudah hancur dan darah segar mengalir keluar dari seluruh sisi tubuhnya. Leher dan kakinya sudah tidak berada pada posisi yang seharusnya, dan kepalanya sudah tampak retak di segala tempat.

Itu.. tubuhnya. Tubuh Rhea dengan wajah yang sama, dan kini ia sedang melihat langsung ke arah wajah itu.

"Apa.. apa yang.." tangannya gemetar melihat wajahnya yang sudah berlumuran darah itu. Satu-satunya yang terpikir di kepala Rhea adalah kalau rohnya keluar dan kini sedang menatap tubuhnya yang sudah mati. 

"Sudah kukatakan, tidak ada waktu untuk hal seperti ini. Kita harus pergi." Dev kembali menyeret tangan Rhea dan membawa gadis itu pergi. Rhea masih melihat ke belakang, mengamati ketika banyak orang mulai datang dan mengerumuni tubuhnya yang terkulai di atas aspal jalanan. Beberapa saat kemudian, pandangan Rhea menjadi buram dan kepalanya terasa sangat sakit. Tubuhnya yang merespon kondisi itu langsung terjatuh ke tanah. Dengan napas yang masih memburu, Rhea menundukkan kepala dan memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri atas apa yang baru saja ia alami. 

The Main LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang