11. Drug?

880 166 42
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Aroma roti panggang menyeruak sampai ke lantai dua. Renjun yang baru saja keluar dari kamar lalu segera berjalan ke dapur. Penasaran dengan apa yang tengah pelayannya siapkan.

Terlihat punggung Rania dari kejauhan. Rambut panjangnya diikat jadi satu. Kakinya melangkah perlahan agar tidak membuat suara yang akan mengejutkan Rania. Dan entah mengapa ia tiba-tiba ingin sekali membelai rambut perempuan itu.

Karena Rania cukup sensitif, ia langsung menoleh ke belakang. Dan sebuah senyuman manis kini ada di depan matanya. Senyuman dari seorang Renjun.

"Kamu udah bangun?" tanya Rania malas. Ia merasa sedikit marah dengan kejadian kemarin.

"Roti panggangnya bikin aku lapar."

Rania benar-benar malas sekaligus takut untuk berbicara dengan Renjun. Laki-laki itu sungguh aneh, dia bisa berubah setiap detiknya. Di kepalanya juga masih terngiang-ngiang mengingat saat ia dijadikan objek lukis yang mengerikan.

Sejujurnya Rania tidak phobia dengan darah, tapi dia hanya tidak suka melihatnya. Rasanya seperti ada sesuatu ingatan buruk tentang darah dulu. Tapi ia tidak bisa mengingat dengan jelas peristiwa apa yang membuatnya tidak suka dan ingin menangis.

Bunda pernah bilang kalau Rania sempat mengalami kecelakaan tak jauh dari panti asuhan. Apa karena itu? Rania tidak yakin. Banyak hal yang ia lupa setelah kejadian itu. Dia bahkan sempat lupa namanya sendiri, namun bunda dengan sabar membantu Rania agar kembali mengingat tentang dirinya, tentang orang di sekitarnya.

Anehnya ia merasa masih ada satu hal yang ia lupakan, entah apa itu, atau siapa itu. Terkadang rasanya ia rindu, tapi tidak tahu apa yang ia rindukan.

"Aku buat satu peraturan baru." ujar Renjun ragu, ia berjalan ke kursi meja makan. "Yang mungkin akan menjadi udara segar buat kamu." lanjutnya.

Rania hanya mengamatinya setelah mematikan kompor sehabis menggoreng telur.

"Aku nggak akan membatasi kemana kamu mau pergi. Asalkan satu hal."

"Apa?"

"Kamu tetap pelayanku, jadi kamu harus ingat tugas kamu beserta larangnnya. Kontrak itu nggak bisa diganggu gugat."

"Jadi maksudnya aku boleh ke luar? Kayak ke taman atau—"

"Bebas, yang penting kamu tahu kemana kamu harus pulang." Renjun bicara seperti itu sambil mengalihkan pandangnnya ke jendela besar yang menunjukan pemandangn taman indah miliknya.

"Setelah kamu selesai sarapan, boleh aku ke gereja?"

Renjun mengangguk pelan. Ia lalu teringat ini hari minggu, seharusnya umat kristiani memang beribadah ke gereja.

"Makasih ya" tanpa sadar Rania tersenyum pada Renjun.

"Diam di rumah ini setiap hari bisa bikin siapa aja jadi gila. Dan aku nggak mau pelayanku mati gila di sini. Ngerepotin!"

Bloody Fear | Renjun✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang