#4

1.5K 238 41
                                    


"Ada perlu apa om memanggil kami?" tanya Dewa setelah mereka bertiga duduk di sofa, di dalam ruang kerja Pak Prasojo.

"Aku minta tolong pada kalian, untuk mendatangi rumah sahabatku, dia punya tunggakan yang lumayan besar, 1 M lebih, awalnya dia katakan padaku mau meminjam untuk modal usaha, ya aku berikan sekitar 1,5 M, lah nama ya sahabat kan nggak mungkin lah bohongi aku, nah sekaramg dia sudah mulai sukses, tapi tidak juga berniat membayar padaku, awalnya ya bayar, 100 juta, lalu bayar lagi, 100 juta, 150 juta, nah setelah itu dia seperti menghindar dariku, aku ya jelas marah, tapi anehnya saat aku ke rumahnya aku jadi luluh, kadang aku merasakan ketakutan yang tak biasa, tak wajarlah, takut tapi nggak tahu takut karena apa, jadi maksudku, kalianlah mewakili aku, aku sudah bilang padanya bahwa hari ini aku mengutus dua orang kepercayaanku untuk mengambil uangnya, aku tahu kau punya kemampuan melihat hal yang tak kami lihat Dewa, aku merasakan hal tak wajar saat berada di rumahnya, akan aku beri alamat rumahnya, nama sahabatku Rustamaji," ujar Pak Prasojo panjang lebar.

"Baiklah om, kebetulan Neira juga seperti saya, jadi bisa membantu saya," sahut Dewa dan mata Pak Prasojo terbelalak kaget.

"Oh yaa?"

****

"Kayaknya di sini rumahnya, berhenti Pak Pur," ujar Dewa pada sopir perusahaan yang membawa mereka.

"Pak, kok saya jadi gak enak perasaan, orang ini kayak banyak pasang pagar ya?"  ujar Neira.

"Iyah lah, tuh di depan pagar rumahnya ada dua," kata Dewa dan Neira menajamkan pandangannya.

"Wah lebih tajam Bapak ternyata, ia bener Pak,  besar item dua, biar aja, nggak akan ganggu kita kayaknya Pak, dia cuman mau bikin keder aja orang yang mau masuk," sahut Neira dengan suara bergetar.

"Maap Pak, Bu, dari tadi ngomong apa ya?  Kagak ngarti saya, pasang pagar? Itu pan memang pagar di depan rumah, dan dua besar item apaan ya Pak ya? Kok Bu Neira bilang gitu?" tanya Pak Pur.

"Nggak papa kami turun dulu ya Pak, tunggu kami di sini aja ya, ayok Nei kita turun, bawa tas mu jangan lupa"

Berdua mereka turun, Dewa melihat rumah di depannya, ia tersenyum miring dan membetulkan jasnya.

"Paak tungguuu," ujar Neira

"Napa?  Takut?" tanya Dewa seperti mengejek.

"Mulai dah, Bapak jangan ngejek saya, saya biasa lihat mukak-mukak aneh Pak, mukak Bapak iya juga masuk katagori itu," sahut Neira kesal.

"Muuukak, wajah gitu,  sama bos gak ada sopan-sopannya kamu Ne," ujar Dewa tak kalah kesal.

Berdua mereka masuk, sempat menatap tubuh tinggi besar menghitam dan berbulu lebat, mata merah menyala, tingginya hampir melebihi pagar rumah itu yang memang didesain sangat tinggi dan kokoh.

Setelah itu mereka ditanya oleh dua orang yang sepertinya bertugas bagian keamanan di rumah itu, setelah diijinkan mereka masuk berdua melewati pagar.

Tak lama pintu besar terbuka dengan sendirinya dan mereka masuk melewati lorong dan Dewa yakin akan ada hal-hal aneh.

"Ih, kamu kok deket-deket sih, takut apa cari kesempatan biar bisa nempel ke aku, cinta ya?" tanya Dewa dengan wajah jengkel sambil menoleh menatap Neira yang berada di belakangnya.

"Ya Allah Paaak, ge er banget, catet ya caaateeeeet, saya nggak akan pernah jatuh cinta sama orang kayak blBapak dah kege-eran, nyebelin, ih, saya jalan duluan aja," ujar Neira melangkah maju.

"Brisik, Hamid pusing denger suara kamu," ujar Dewa yang masih terlihat jengkel.

Neira menghentikan langkahnya dan berbalik.

The Sixth Sense (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang