Aku adalah orang paling payah sedunia, pemalas, dan seringkali melakukan hal yang tidak berguna. Aku mengatakan hal tersebut bukan tanpa landasan atau asal bicara, sebab aku mendapatkan pernyataan itu dari sumber yang tepercaya; yakni Ibuku sendiri.
Aku masih ingat di suatu pagi saat hari libur sekolah, aku menonton serial kartun di ruang tengah. Ibu tengah sibuk mencuci di kamar mandi. Dengan suara yang teredam bunyi tetesan air dari keran ke ember, Ibu memanggilku dengan lantang. "Adisti! Kamu tuh jangan nonton tv melulu. Lihat itu si Fani, tiap hari bantuin ibunya nyuci sama nyetrika baju. Jadi anak tuh jangan pemales! Nanti rezeki kamu seret!"
Jadi, setelah mendapatkan petuah seperti itu dari Ibu, setiap pagi sejak aku kelas lima SD, aku selalu membantu Ibu membereskan rumah dan menyapu lantai. Setiap akhir pekan tiba, aku tidak pernah main dengan teman-temanku karena aku ingin membantu Ibu untuk menyetrika pakaian, sebab kata Ibu, aku tidak boleh jadi anak pemalas.
Aku juga masih ingat ketika kelas 11 SMA, di hari setelah pembagian rapor, Ibu menangis sembari melempar buku raporku ke dapan wajahku.
"Nilai macam apa ini, Adisti? Nilai kamu turun dari peringkat dua ke peringkat sepuluh. Ini pasti karna kamu kebanyakan nonton TV. Percuma aja kamu ikut bimbel tiap pulang sekolah. Nggak ada hasilnya," masih kuingat tiap kata demi kata yang terlontar dari mulut Ibu. Aku tidak berani menatap mata Ibu, sebab melihatnya akan membuatku menangis tersedu-sedu.
Aku tidak suka melihat raut kekecewaan di wajah Ibu. Jadi, setelah hari itu berakhir, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk belajar keras semalaman. Nilaiku sedikit membaik. Tetapi, Ibu tidak pernah mengucapkan selamat atas semua pencapaian itu. Mungkin memang seharusnya begitu, sebab nilai bagus adalah suatu keharusan. Aku memang tidak boleh banyak main karena Ibu tidak menyukai hal itu.
Hari demi hari berlalu, aku mulai memasuki tahun-tahun kedua masa perkuliahanku. Saat itu, aku diberi kesempatan untuk memasukkan salah satu lukisanku dalam sebuah pameran seni milik seorang kurator terkenal. Pada saat itu, lukisanku laku terjual dua juta rupiah, dan tentu saja, aku ingin Ibu mengetahui mengenai hal ini.
Jadi, di suatu sore, aku pulang ke rumah dengan begitu terburu-buru. Kuceritakan semua itu kepada Ibu dengan begitu bangganya. Tetapi, selepas sesi bercerita itu berakhir, tak kulihat segaris pun senyuman di wajah Ibu. Aku masih mengingat kala itu, beliau hanya menimpali ceritaku dengan nada dingin. "Jangan kebanyakan ngelakuin hal nggak berguna, Adisti! Fokus aja sama kuliah kamu. Biar kamu bisa cepet dapet kerja. Tahun depan kan Ayah kamu pensiun."
Hari itu, aku tidak membalas ucapan Ibu sama sekali. Kepalaku menunduk dan tanpa pikir panjang, aku izin pamit dengan sopan kepada Ibu untuk kembali ke kos-kosanku. Entah mengapa kala itu, saat berada dalam perjalanan kembali ke kos-kosan, aku menangis tersedu-sedu di kereta.
Aku bahkan tidak memedulikan pandangan ibu-ibu berambut ikal yang duduk di sebelahku. Aku hanya menangis tanpa suara, sambil bergumam pelan dalam hati, mungkin ucapan Ibu ada benarnya juga. Tidak seharusnya aku melukis, sebab itu akan mengganggu perkuliahanku. Jadi, sejak itu, aku mulai berhenti melukis, dan fokus untuk belajar agar mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit.
Hari ini adalah hari pertama di tahun baru. Kudengar suara Ibu meracau dari dalam dapur. Sembari menggoreng tempe untuk makan siangku dan adik-adik, Ibu bercerita dengan heboh.
"Kamu tau nggak, Dis, anaknya Bu Retno tuh sekarang kerja di BUMN. Si Rani itu. Gede gajinya. Katanya mau nikah sama pengusaha pertambangan. Cantik emang anaknya. Pantes dapet suaminya orang kaya!" Aku hanya menyambut curahan hatinya itu dengan gumaman pelan. "Bagus nasib dia itu, Dis! Kamu banyak-banyak berdoa. Siapa tau bisa beruntung kaya dia!"
Aku mendesah pelan. Sambil menyantap sepotong tempe yang sudah matang di meja makan, aku masuk ke dalam kamar, tanpa mengucap sepatah pun kata-kata.
Namaku Adisti. Usiaku dua puluh tahun. Aku adalah orang paling payah, pemalas, dan seringkali melakukan hal-hal yang tidak berguna. Semua itu kuucapkan bukan tanpa alasan. Sebab, aku mengetahuinya darimulut Ibuku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
redam-padam
Truyện NgắnBerisi sekumpulan kisah yang ditulis untuk melepaskan diri dari udara yang menyesakkan; dari kata-kata yang tak sempat terucapkan, atau dari luka yang belum sembuh.