First Case?

1K 86 1
                                    

Atsushi menghembuskan nafas -untuk kesekian kalinya- dengan ekspresi menyerah. Dia tau kalau berada di Akademi akan sangat berat, tapi... Siapa sangka kalau akan ada tes lagi?

Er- tidak. Kalau dikatakan tes sih sebenarnya tidak cocok juga. Mungkin, lebih tepatnya dijadikan korban percobaan Dazai-san lebih tepat.

Ah!!

Atsushi mengangguk-anggukkan kepalanya, puas dengan kesimpulan yang ia peroleh dari perintah Dazai-san yang tiba-tiba. Tidak peduli di belakangnya terlihat seorang pemuda berkacamata yang sedang adu debat dengan 2 orang polisi.

Tapi...

Atsushi menatap tubuh mayat yang ada di depannya dengan ekspresi aneh.

Wanita itu terbaring dengan darah menggenang di bagian dadanya. Kemungkinan karena peluru yang menembus jantungnya. Dia sama sekali tak membawa barang apapun, kecuali pakaian yang ia pakai. Dan pakaiannya pun jelas merupakan pakaian biasa, bukan untuk berangkat kerja maupun bermain.

Sekilas, Atsushi berpikir kalau dia melihat wanita itu berdiri di tepi jembatan dengan wajah frustasi dan ingin bunuh diri.

...

Nah, nope, no way.

Hanya Dazai-san yang akan berpikiran seperti itu!

Atsushi menggelengkan kepalanya. Lalu kembali fokus pada permasalahan di depan matanya.

"Kenapa Ranpo-san bisa yakin kalau dia dibunuh? Letak lukanya terlihat seperti bunuh diri, menurutku," gumam Atsushi sambil meneliti mayat itu.

***

"Karena itu, pelakunya ada disini dan kau tinggal menangkapnya!!" Teriakan frustasi seorang Edogawa Ranpo mengejutkan Atsushi dari lamunannya.

Sejak satu jam lalu, pemuda yang mengaku detektif itu terlibat adu debat dan masih belum mendapatkan kepastian dari pihak polisi. Atsushi sampai mempunyai kecurigaan kalau sebenarnya polisi tau bahwa ada pembunuh di antara mereka. Tetapi tidak ingin publik mengetahuinya, karena bisa saja merusak nama baik mereka.

Tapi...

"Kalau tidak mau nama baik mereka rusak, kenapa mengundang Ranpo-san menyelidiki kasus ini? Udah tau dia itu detektif, ya pasti semuanya akan dibongkar dong. Gimana sih?"

Atsushi sweatdrop.

Lalu matanya kembali menatap mayat perempuan yang sudah dimasukkan ke kantong mayat, namun belum dibawa ke rumah sakit itu. Tak sengaja, matanya bersitatap dengan seorang petugas polisi muda yang tadi ikut menemani proses perdebatan.

Polisi muda yang menurut keterangan Ranpo-san adalah pelaku pembunuhan korban. Tapi, motif utamanya masih belum terkuak. Namun, jika melihat senyum sombong Ranpo-san, dia tau motif sebenarnya polisi itu tetapi menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"... Alasannya!!" Teriakan polisi senior itu membuat Atsushi mendongak dan menatap heran pada sumber suara.

Uh? Kenapa tiba-tiba berteriak?

O-oh. Melihat ekspresi penuh kemenangan seorang Edogawa Ranpo jelas bukan pertanda baik bagi para polisi. Karena, dari posisinya berdiri, Atsushi bisa melihat kalau wajah polisi itu memucat.

***

"Wahh, kekuatan Ranpo-san sangat mengagumkan! Aku juga mau punya kemampuan seperti itu," gumam Atsushi penuh kekaguman.

Setelah menunggu satu jam lagi, akhirnya polisi senior itu memutuskan mengamankan si polisi junior. Dan mereka (Atsushi dan Ranpo) bisa kembali ke Akademi dengan tenang.

"Heh. Meski kau belajar 100 tahun pun, kau takkan bisa memilikinya. Karena sihirku adalah satu-satunya sihir yang tidak bisa ditiru siapapun di dunia ini," sahut Ranpo kalem.

Namun, Atsushi bisa mendengar nada 'aku-superior-dan-kau-hanyalah-kecoa-dikakiku'.

And, Atsushi sighed.

Benarkah memasuki Akademi dan terlibat dengan detektif agensi ini merupakan pilihan yang tepat?

And he sighed again.

***

"So, bagaimana perjalananmu dengan Ranpo-san?" Tanizaki Junichirou mendudukkan diri di depan Atsushi dan bertanya penuh minat. Kali ini ada perempuan berambut panjang di lengannya.

"Err- Tanizaki-san?"

Ekspresi penuh kekagetan Atsushi ternyata cukup menjadi alasan bagi Junichirou untuk memperkenalkan perempuan yang sangat menempel padanya itu.

"Ini adikku, Naomi. Dia tidak bersekolah di sini, tetapi sering berada disini. Baik itu karena mengunjungiku atau karena membantu agensi," jelas Junichirou dengan senyuman.

"Ara, teman barumu cukup menarik, Nii-san," sahut Naomi tanpa berniat menjauh dari Junichirou. Melainkan semakin menempel dengan posisi yang bisa dikatakan ambigu. Dan Junichirou membuat suara aneh.

Atsushi mengerjap heran. Uh? Apa yang baru saja terjadi?

"Maa maa, jangan khawatirkan ini, Atsushi-kun. Aku penasaran dengan kasus yang terjadi tadi. Ceritalah," ucap Junichirou dengan senyuman kaku.

Atsushi mengangguk, "ya. Itu... Kemampuan Ranpo-san, bukan sihir seperti kita kan? Maksudku, dia hanya menjelaskan analisis dan logika, sama sekali tak ada kekuatan spesialnya," ujar Atsusi ragu-ragu.

"Aah~" Junichirou mengangguk paham. "Kau benar, tapi kau tidak boleh mengatakan apapun pada Ranpo-san. Dia adalah satu-satunya di agensi yang memang tak punya sihir, tetapi dia berpikiran sebaliknya. Baginya, kemampuan istimewanya itu merupakan sihirnya," jelas Junichirou, sesekali matanya menatap sekitar, memastikan objek gosip mereka tidak berada di dekat mereka.

"Hee, souka."

"Lalu, bagaimana?"

"Ah! Pelaku pembunuhan itu adalah salah satu polisi. Yang mana ternyata merupakan kekasih korban. Erm- korban sebenarnya memang membunuh dirinya sendiri, tetapi itu karena ingin menyelamatkan kekasihnya. Nah, yang jadi masalah adalah, korban memaksa kekasihnya menarik pelatuk. Jadi, yah, bisa di katakan kasus itu pembunuhan yang tak direncanakan. Alasan kenapa itu terjadi adalah karena pelaku merupakan anggota mafia dan korban mengetahuinya. Setelah semua, nyawa lebih berharga daripada cinta bagi pelaku. Sehingga, terjadilah kasus itu," jelas Atsushi panjang lebar.

Dia mengerjap, merasa ada yang aneh dan tidak jelas dari kalimatnya sendiri. Namun memutuskan untuk angkat bahu, dan berharap Tanizaki-san memahaminya.

Huft.

Cinta yang diiringi dengan pembunuhan itu, ironis sekali. Namun, sudah bukan hal yang aneh lagi. Karena cinta memang sering dijadikan motif seseorang melakukan sesuatu. Baik itu hal yang membawa kebaikan dan kebahagian maupun hal yang membawa keburukan dan melanggar hukum.

Atsushi menyenderkan badannya ke kursi. Matanya menatap keliar jendela. Mengamati keramaian jalanan di sore hari. Tiba-tiba satu sosok serba hitam menarik perhatiannya. Sosok itu berjalan sendirian, tidak peduli sekitarnya.

Akutagawa Ryunosuke.

Atsushi mengingat nama pemuda itu. Dan entah kenapa, ada kecemburuan di hati kecil Atsushi. Nah iie, bukan Atsushi tidak mengetahuinya. Tetapi ia tak mau mengakuinya.

Atsushi cemburu karena, sosok Akutagawa bisa berbuat sesukanya tanpa peduli pandangan orang terhadapnya. Dan, tak ada seorang pun yang berani menghentikannya.

Sigh.

Apa suatu saat Atsushi bisa begitu ya?

***
To be continued

Fate and Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang