7. Ingatan Gajah

960 86 14
                                    

"TUMBEN tadi datangnya mepet upacara, Ris?" ujar Kinar kepada Rissa di kelas usai mereka mengikuti upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap hari Senin. "Kirain kamu nggak masuk hari ini."

Rissa mengempaskan pantatnya di kursi, bertopang dagu, lalu mendesah panjang. Diceritakan kisah paginya hari ini dimulai dari angkotnya yang mogok, sehingga Rissa dan penumpang lain terpaksa diturunkan di jalan, sampai dengan cowok tetangga baru kompleks perumahannya yang sudah berbaik hati memberikan tumpangan istimewanya itu.

"Aku harap nggak sekelas sama dia," cetus Rissa di akhir ceritanya.

"Hati-hati, lho, Ris. Jangan kelewatan benci sama orang. Bisa jadi kamu malah suka sama dia," nasihat Kinar.

"Suka? Nggak mungkin lah." Rissa mengibaskan sebelah tangannya dengan cepat dan cepat pula menambahkan, "Nggak mungkin aku suka sama cowok kayak gitu."

"Iya, deh, yang sukanya sama Sakha."

Muka Rissa seketika bersemu merah. Dengan cepat mood-nya berubah hanya dengan mendengar nama Sakha. Kenyataan dirinya menyukai Sakha, memang tidak Rissa tutup-tutupi dari dua sahabatnya, Kinar dan Rumaisha. Apalagi Rumaisha. Mentang-mentang Rumaisha tinggal satu kompleks perumahan dengan Sakha dan sudah mengenal baik cowok itu, Rissa jadi lebih gampang mengorek keterangan tentang Sakha.

Namanya Sakha. Lengkapnya Sakha Avaqi Umaro. Putra tunggal Ustaz Dr. Hanif Umaro, Lc., M.A., seorang pendakwah merangkap dosen sekaligus penulis buku spiritual yang masih berdarah Arab dari keturunan Umaro. Saat ini pun Ustaz Hanif turut memimpin SDIT Umaro yang diamanatkan kepada beliau.

Sebagai anak ustaz, Sakha itu selain pandai mengaji juga sering membantu buyanya mengajar mengaji anak-anak di masjid yang dibangun atas wakaf keluarganya. Rutin setiap Kamis malam Jumat mengikuti tausiah pengajian yang dipimpin Ustaz Hanif.

Satu bulan lalu saat hari ulang tahun Rissa yang ke-17, Rissa harus menepati janji yang dibuat dengan mamanya untuk mulai berhijab. Satu bulan lalu untuk pertama kalinya juga Rissa diajak mamanya pergi ke pengajian. Satu bulan lalu yang menurut Rissa pengajian itu membosankan, seketika pendapatnya berubah setelah melihat Sakha.

Wajah Sakha yang mirip dengan seorang anak kecil yang ditemuinya sepuluh tahun lalu. Rissa menyebutnya Ava, malaikat penolongnya. Lalu seiring berjalannya waktu, Rissa jadi rajin datang ke pengajian hanya demi bisa bertemu Sakha.

"Oh, ya, Rumaisha mana?" tanya Rissa begitu menyadari meja di sebelah kanan Kinar masih kosong. Meja yang ditempati Rumaisha. Tiba-tiba ia juga baru tersadar tidak mendapati Rumaisha saat upacara tadi.

"Loh, kamu nggak di-chat dia? Hari ini dia izin nggak masuk lagi. Tadinya, sih, udah mau berangkat. Tapi bundanya masih khawatir. Jadi sama bundanya disuruh jangan masuk dulu hari ini," balas Kinar sambil menyiapkan buku-buku dan peralatan tulisnya di atas meja untuk jam pelajaran pertama.

Rissa mengecek ponselnya dan baru menyadari ada satu pesan masuk dari Rumaisha yang belum ia buka. Setelah membalas sekadarnya, ia lalu meraih tasnya dan ikut mengeluarkan buku catatan, textbook, berikut alat tulis yang diperlukan.

Tiba-tiba dari arah pintu kelas, terdengar suara gaduh orang berlarian dan sekarang orang itu sudah berdiri dengan napas tidak beraturan setelah menubruk meja Rissa.

Kepala Rissa menengadah seorang cowok tinggi, kurus, berkulit hitam manis, berambut klimis, dan juga mempunyai hobi mengenakan kacamata yang berbeda-beda warna setiap harinya itu. Hari ini kacamata berbingkai bundar warna kuning yang dipilihnya.

"Apaan, sih, Juk, datang-datang main nubruk meja orang aja?" omel Rissa ketika membenarkan letak mejanya yang sempat terderak karena kena dorongan tubuh Juki. "Habis dikejar-kejar tagihan Pak Min lagi, ya?"

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang