LDUM-24

1.6K 121 8
                                    

"Aini! Tunggu, Ai!" Jantungku masih berdetak cepat kala Naufal masih mengejarku, kami menjadi tontonan mahasiswa lain, itu yang membuatku malu setengah mati.

Setelah jam ke dua selesai yang di doseni pak Ma'rifat, di luar kelas aku sudah dicegat oleh Naufal. Entah apa gerangan yang dia akan lakukan, tiba-tiba saja  pergelangan tanganku ditarik dan dengan terpaksa aku mengikuti langkah dia yang begitu lebar.

Tanganku dihempaskan begitu saja ketika sudah sampai di taman belakang kampus. Dada Naufal naik-turun kala menatapku, entah apa yang merasukinya.

"Aini," duh, bulu kudukku merinding kala mendengar suaranya. Dia itu kenapa, sih? Apa ketika melewati lorong sepi dia kerasukan, ya? Sehingga suaranya terdengar seram di telingaku.

"Aini, apa benar kemarin lo menginap di rumah seorang pria?" Aku mengangguk. Memang benar kan aku menginap di rumah Rafka, itu pun atas ajakan Ayu dan ibunya.

"Apa lo gila? Kenapa lo tinggal dengan lelaki? Kalau lo butuh uang, lo bisa minta ke gue! Nggak gitu caranya, Ai! Di mana Aini yang anti dengan lelaki?"

Tunggu, tunggu. Jadi, Naufal menyimpulkan aku menginap di rumah Rafka sebagai bentuk pekerjaan seperti itu?! Segera saja ku ambil buku dan pena untuk menjelaskan padanya sebelum terjadi kesalahpahaman yang akan merendahkan harga diriku. Lagian dia tahu dari siapa, sih?

Kamu salah paham, Naufal. Memang iya aku menginap di rumah seorang lelaki, tapi dugaan yang kamu katakan itu salah!  Tentu saja bukan hanya aku dan lelaki itu, tapi ada Ayu dan orang tuanya juga.

Dengan kesal kuperlihatkan padanya, dan aku melihat dahinya menyatu. Ia menatapku, entahlah semacam tatapan tak percaya. "Ayu?" Aku mengangguk.

"Apa yang lo jelaskan ini benar, Aini?" Aku jengah. Lebih baik kuabaikan saja dia, lagipula ini tidak ada urusannya sama sekali dengan dia.

"Aini, tunggu!" Baru saja aku mau melangkah sudah dihalang olehnya.

"Maafin gue yang asal menuduh lo. Gue cuman gak senang jika memang itu terjadi, maksud gue kalau lo hanya menginap berdua hanya dengan lelaki itu saja. Gak ada yang lain."

Ya, aku memaafkanmu. Lain kali lebih telaah lagi jangan langsung menyimpulkan sendiri. Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan? Aku pergi. Lapar.

"Sebentar jangan pergi dulu! Masih ada yang ingin gue bicarakan." Aku merespon dengan anggukan, sabar ya perut.

Mulanya ia berdehem, "gue pengen jadi temen lo."

Bukannya memang kita sudah berteman?

"Jadi lo selama ini anggap gue temen?" Aku mengangguk. Memang benar, kan? Aku kenal dia, dia kenal aku. Jadi secara tak langsung aku dan dia berteman.

Naufal menyeringai, "kalau gue minta lebih dari teman, boleh?"

Maksud kamu, sahabat?

"Kalau lebih?"

Batasnya cuman sebagai sahabat saja, nggak lebih ya! Lagian kamu kenapa akhir-akhir ini suka datangin aku? Bukannya kamu jijik dan gak suka sama aku seperti dua teman kamu itu?

Aku lihat Naufal mengelus-elus dagunya, eh, aku batu sadar kalau dagu Naufal terbelah.

"Lo emang cewek biasa, gak ada spesialnya sama sekali. Lo bisu juga. Tapi entah kenapa mata dan hati gue selalu tertuju ke lo. Jawab gue, apa ini cinta?"

Aku memundurkan langkah kala Naufal mendekatiku, ku angkat tangan bermaksud menyuruhnya berhenti. Kembali lagi ke penuturan dia, harus kutanggapi dengan apa? Aku yakin seratus persen Naufal mengatakan itu hanya sebagai sebuah permainan. Mana mungkin pria yang digilai mahasiswi ini jatuh cinta pada gadis bisu sepertiku? Bagiku tidak masuk di akal.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang