9. Memercayai Kenzie?

750 84 10
                                    

SEPULANG dari menunaikan ibadah salat Magrib berjemaah di masjid kompleks, Kenzie langsung melenggang ke meja makan ketika Bi Wati memberitahunya kalau makan malam sudah siap.

Di atas meja makan berukuran besar itu, Kenzie dapat melihat berbagai macam menu makan malam memang telah terhidang dengan aromanya yang menggiurkan lidah. Namun, cowok itu tampak belum berkenan menyentuh makanannya.

"Lho, Mas Kenzie, kenapa makanannya cuma dilihatin saja?" tegur Bi Wati, asisten rumah tangga paruh baya itu membuyarkan lamunan Kenzie. "Bibi ambilkan, ya?"

"Nggak usah, Bi. Aku mau nunggu baba dulu," kata Kenzie menghentikan niatan Bi Wati yang sudah akan mencentongkan nasi ke piring.

"Tapi tadi bapak pesan kalau pulangnya malam. Sebaiknya Mas Kenzie makan dulu. Nanti makanannya keburu dingin."

Kenzie mendongak jam dinding. Pukul setengah tujuh. Babanya akan mulai terbiasa lagi dengan pekerjaan yang memaksanya harus pulang malam. Kalau sudah begini, belum tentu bakda Isya sekalipun babanya sudah pulang ke rumah.

Sama seperti saat tinggal di Dubai, Kenzie pun harus senantiasa memaklumi kesibukan babanya. Meski babanya juga orang yang bersedia meninggalkan pekerjaan saat Kenzie membutuhkan kehadirannya, tetapi Kenzie berusaha untuk tidak lebih banyak merepotkan. Kenzie hanya bisa mengingatkan babanya agar jangan terlambat makan dan tetap menjaga waktu salat.

Beralih dari jam dinding, perhatian Kenzie lalu tertambat pada bingkai foto besar yang tergantung di dinding dekat kitchen island. Tampak potret seorang wanita muda bergaun bindalli merah marun sulam bordir benang emas lengkap dengan hijab kepala serta hiasan tiara itu tengah tersenyum lebar hingga membuat kedua pipinya merah merona. Pun, binar-binar persembahan dalam mata hijaunya seakan menghadirkan kehangatan yang damba dirasa.

Cantik ....

Sungguh, foto wanita berdarah Turki yang diambil pada malam henna menjelang hari pernikahannya itu memang memiliki kecantikan alami untuk mampu menyihir siapa saja.

Mama ....

Ya, dialah wanita termulia dalam hidup Kenzie.

Andai Mama di sini menemani Kenzie ....

Kendati sosoknya telah lama tiada, tetapi jasanya akan senantiasa terkenang sepanjang masa.

"Mas, Mas Kenzie makan dulu saja, ya. Nanti kalau telat makan, terus Mas Kenzie sakit, saya juga yang kena marah bapak."

Suara Bi Wati menarik perhatian Kenzie ke arah wanita paruh baya itu. Bi Wati adalah asisten rumah tangga keluarga Sakha yang sejak satu tahun lalu ditugaskan untuk menjaga dan merawat rumah baru babanya ini sebelum ditempati. Dengan begitu babanya tidak perlu repot-repot mencari asisten rumah tangga lagi.

Kenzie pun langsung senang dengan Bi Wati, karena orangnya baik, perhatian, kerjanya rajin, terutama pintar memasak. Karena itu, seharusnya Kenzie tidak boleh mengabaikan masakan yang sudah capek-capek disiapkan Bi Wati.

"Ya udah, aku mau makan, tapi ...." Kenzie mendongak Bi Wati dan tersenyum penuh arti. "... kalau Bibi juga ikut makan di sini. Aku nggak mau makan sendirian."

"Tapi, Mas ...."

"Kalau Bibi nggak mau, aku juga nggak mau makan. Makanan di sini banyak, Bi. Nggak mungkin, kan, aku habiskan sendiri? Pokoknya nggak mau tahu, sekarang Bibi ikut makan sama panggilkan yang lainnya juga, deh. Pak Mahmud sama Pak Kosim. Suruh mereka makan sama-sama di sini."

Bi Wati masih merasa rikuh, tetapi mau tidak mau tetap menuruti permintaan putra majikannya itu daripada tidak mau makan.

Dari luar terdengar suara derum mobil. Rissa mengintip dari balik tirai jendela sampai ia mendapati mamanya turun dari SUV metaliknya.

"Mama," sambut Rissa memeluk mamanya sayang begitu membukakan pintu untuknya.

Anna turut menyambut pelukan putri kesayangannya itu.

"Rissa senang, deh, Mama bisa pulang cepat," kata Rissa seraya menggelanyut manja di pundak mamanya.

"Iya, Sayang, begitu selesai praktik, mama langsung cepat-cepat pulang ke rumah. Soalnya mama pingin makan malam bareng putri mama yang cantik ini." Anna mencolek ujung hidung Rissa dengan jari telunjuknya.

"Ya, udah, yuk, Ma, kita makan sama-sama. Bi Uti udah bikin masakan kesukaan Mama, lho. Tumis kangkung sama tempe bacem."

"Oh, ya? Wah, mama jadi tambah lapar, nih."

Pasangan ibu dan anak itu pun menduduki kursi mereka masing-masing di depan meja makan yang sudah dipenuhi aneka lauk-pauk.

"Jadi, bagaimana hari kamu di sekolah, Sayang?" tanya Anna. Seperti biasa, ia selalu menyediakan waktu berkualitasnya untuk sekadar bertanya tentang keseharian Rissa di sekolah, lalu mendengarkan curhatan putrinya itu.

"Biasa aja, Ma. Eh, salah. Ngeselin, ding."

Sebelah alis Anna terangkat heran melihat putrinya yang bersungut-sungut kesal. "Ngeselin bagaimana, Sayang?"

"Ya, gara-gara cowok itu. Siapa lagi?"

"Cowok siapa?"

Rissa menggeram dalam hati. "Cowok yang sekarang tinggal di rumah lama kita itu, lho, Ma."

"Kenzie? Memangnya ada apa lagi? Kalian belum baikan?"

"Boro-boro baikan. Kerjaannya itu cuma bisa bikin Rissa kesal aja."

Anna menggeleng-gelengkan kepala. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring, lalu menatap intens Rissa yang duduk di seberangnya. "Kalau begitu sekarang mama tanya. Apa Kenzie juga bersikap mengesalkan pada teman-temanmu yang lain?"

Rissa menggeleng. Sikap Kenzie malah baik banget sama yang lain.

"Apa teman-temanmu yang lain merasa terganggu karena adanya Kenzie?"

Rissa menggeleng lagi sebagai jawaban atas pertanyaan mamanya yang kedua. Gimana mereka mau merasa terganggu, orang baru hari pertamanya aja Kenzie malah kayak langsung gampang akrab sama mereka.

Anna tersenyum. "Kalau begitu tandanya Kenzie menganggapmu spesial."

"Spesial?" gumam Rissa tidak mengerti.

Anna mengangguk. "Mungkin saja itu cara dia supaya bisa dekat dengan kamu," ujarnya kalem dan tanpa terselip nada menggoda. Melihat masih ada kebingungan, Anna lantas meminta putrinya itu memerhatikan penjelasannya baik-baik. "Kamu tahu, Sayang, dulu sewaktu mama dan papa masih sama-sama kuliah, papamu juga suka melakukan hal itu. Awal-awal perkenalan kami itu tidak enak. Papamu suka godain mama, gangguin mama, pokoknya tiada hari tanpa bikin mama kesal karena ulah-ulah isengnya. Tapi rupanya hal itu dilakukan papa karena untuk mencari perhatian mama. Karena sering diganggu papamu, justru akhirnya kami jadi bisa lebih dekat dan saling mengerti satu sama lain. Puncaknya papa sama mama malah jadi jodoh, terus menikah."

Rissa tercenung. Dulu papa dan mamanya memang teman satu kampus, tetapi berbeda jurusan. Papanya mengambil Manajemen Bisnis, sedangkan mamanya mengambil Kedokteran. Mereka bertemu secara tidak sengaja di luar kampus. Setelah beberapa waktu, mereka baru tahu kalau ternyata satu kampus ketika salah satu teman papanya yang anak Kedokteran mengenalkan mereka. Rissa pikir kedua orang tuanya itu memang punya kisah unik dalam perkenalan mereka.

"Rissa, seperti yang mama bilang kemarin. Mama percaya Kenzie itu anaknya baik. Seperti halnya mama memercayai Om Adib. Om Adib itu teman baik mama sejak SMP. Kamu tahu, setahun lalu waktu Om Adib datang ke Semarang dan berniat mencari rumah, Om Adib bersedia membeli rumah lama kita tanpa penawaran. Bahkan dengan harga yang melebihi ekspektasi mama. Dari penjualan rumah itu bukan saja bisa menutup utang-utang papa, tapi juga masih cukup ada sisa untuk tambahan mama membeli rumah yang kita tempati sekarang ini. Kalau cuma mengandalkan tabungan mama, mungkin belum tentu cukup untuk kita bisa membeli rumah di Bukit Permata."

Rissa masih tercenung. Sebegitu baiknya keluarga Kenzie saat membantu kesulitan mamanya. Rissa mungkin percaya kalau Om Adhib itu baik, walaupun ia sendiri belum pernah bertemu secara langsung. Namun, kalau anaknya ....

Hm, apa Rissa juga harus mulai memercayai Kenzie?

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang