“Ini!” Allan mengulurkan secarik kertas pada Key yang sedang asyik makan di taman sekolah.
Key menerima kertas dengan dahi mengernyit. “Apa ini? Undangan pernikahan lo?” tebaknya. “Wah! Selamat, ya!” ucapnya riang, mengambil tangan Allan, menjabatnya.
Allan hanya mentap Key dengan tatapan jengah. “Budayakan baca, Maemunah. Itu pamflet malam kesenian yang bakal di gelar sebulan lagi,” jawab Allan. “Setiap tahun ada acara kesenian, dan kali ini gue jadi salah satu panitianya.”
Key ber-o ria. “Selamat kalau gitu!” ucap Key girang, kemudian melanjutkan makan tanpa peduli banyak.
Allan menghela napas, mengambil tempat di sebelah Key lalu mendudukinya. “Lo harus ikut!” kata Allan membuat Key berhenti mengunyah dan menoleh.
“Ha?”
“Iya, lo harus ikut!” kata Allan, mengulang dengan nada memerintah.
“Enggak! Gue enggak mau ikutan!” jawab Key, lalu kembali melanjutkan makan.
“Ayolah! Pasti seru!” bujuk Allan.
“Gue engggak punya bakat seni, Lan,” jawab gadis itu masih menolak.
“Gimana mau tau kalau lo enggak nyoba dulu?”
“Gue yakin, gue enggak punya bakat seni,” tegas gadis itu.
“Ayolah! Gue sebagai panitia harus merekrut orang untuk gabung dalam festifal itu dan gue belum dapet satu orang pun,” pinta Allan memohon.
Key tersenyum dibuat-buat. “Harusnya itu sebagai petunjuk, kalau tidak semua orang punya bakat seni,” tukas Key, kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya.
“Ini acara sekolah terakhir kita. Tahun depan kita udah enggak di sini. Jadi, ikut ya?” Allan masih berusaha membujuk Key.
Key mengunyah makanannya sesaat, lalu menelannya. Ia berdehem. “Emang, lo ikut apa?”
Allan tersenyum. “Seperti biasa,” Allan memeragakan jarinya yang menekan udara, “main piano.”
Key menggut-manggut.
“Jadi, lo mau ikut?” tanya Allan sekali lagi, penuh harap.
Key tersenyum manis. “Enggak,” jawabnya lalu kembali makan lagi.
Allan frustasi. “Ayolah!” pinta Allan merengek, mengguncang lengan Key dan mengganggu ketenangan gadis itu.
Key menggeleng, memeragakan telunjuk yang bergerak ke kanan dan kekiri.
“Lo gak mau lakuin demi gue?” Allan memelas berusaha membujuknya dengan pupy eyes-nya.
Key menghela nafas. “Gini ya, Lan, gue tuh enggak mau ikut acara beginian. Lo boleh minta apa aja, tapi jangan yang ini,” kata gadis itu masih terus menolak.
“Ah ... gue tahu. Lo takut ya? Demam panggung? Atau ... lo takut di ketawain banyak orang? Jadi, Key yang gue kenal selama ini cuma seorang pengecu?” tanya Allan mulai mengompori, memicingkan mata seakan meremehkan gadis itu.
Key tersulut, menaruh kotak makan dengan keras di meja bundar-yang terbuat dari semen. “Gue enggak pengecut!” kilah gadis itu tegas.
“Kalau gitu buktiin!” tantang Allan, dengan senyum mengejek.
"Ok! Gue bakal ... eh?" Key mengerjap, tersadar lalu menatap Allan tajam. “Denger ya, Allan, mau gimana caranya lo tetep enggak bisa bujuk gue buat ikutan acara festifal itu!” tegasnya.
Allan mendesah berat. Ia kehilangan akal.
Gue tahu! Seru cowok itu dalam hati. “Gimana kalau kita taruhan lagi? Kalau genap lo wajib ikut kalau ganjil lo gak perlu ikut!” tantangnya, mendongakkan dagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
11.11 (Sebelas kembar) [End]
Fiksi RemajaPart lengkap *** "Emang kenapa sama jam sebelas kembar?" "Katanya bisa kabulin permohonan. Lo nggak tahu?" "Nggak. Nggak suka percaya gituan." Keysha Aileen adalah seorang gadis urakan. Dia tidak peduli dengan apa pun semenjak papa nya pergi meningg...