8

22.7K 1.2K 70
                                    

Mendapati laki-laki yang selama enam tahun ini ia hindari berada di depannya, membuat Meisha terkejut bukan main. Meski memang kemungkinan untuk bertemu sangatlah besar, karena ia berada satu kota dengan Raka. Namun, Meisha belum siap untuk bertemu sosok pria yang mungkin masih mengisi hatinya ini.
M

eisha mundur, menoleh ke sekeliling melihat situasi.

"Meisha," panggil Raka lagi.

Meisha ingin sekali menjawab. Bukan, ia bukan Meisha. Namun, tenggorokannya begitu sulit mengeluarkan suara seolah membantu Raka menunjukkan kalau dirinya memang Meisha. Meisha berlari keluar dari toko, diikuti Raka yang hendak mengejar.

"Meisha!"

"Pak Raka!" Feli menarik lengan Raka begitu saja. "Saya mau tanya pendapat ... ."

"Nanti, Feli!" jawab Raka cepat lalu keluar dari toko meninggalkan Feli yang kebingungan. Sampai di luar, Meisha sudah sampai di depan jalan, tengah menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan menaikinya.

"Meisha!" teriak Raka lagi.

Raka berlari menuju mobilnya, hendak mengejar taksi yang ditumpangi Meisha. Namun, keadaan parkir yang semrawut karena ramainya toko di hari pertamanya buka itu membuat Raka kesulitan mengeluarkan mobil, meski juru parkir sudah turut membantu.

Dan bermenit-menit setelahnya Raka sadar, ia telah kehilangan jejak Meisha.

***

Para pegawai toko Meisha baru saja pulang setengah jam yang lalu. Meisha dan Cecil hanya tinggal membereskan beberapa hal yang ada di ruang kerja Meisha. Bima sendiri menemani Meisha memantau toko barunya itu sejak siang tadi. Namun, beberapa jam lalu ia pamit untuk mengurus proses jual rumah dan indekos milik almarhum orang tuanya. Bima memang mengurungkan niatnya untuk merenovasi.

"Mama, Illa mau es krim Ma." Syahilla kembali merajuk untuk kesekian kalinya.

"Iya, besok ya sayang. Besok Mama belikan yang banyak untuk Illa," sahut Meisha, juga untuk kesekian kalinya. Bahkan Cecil yang sejak tadi membantu Meisha untuk membujuk Illa pun menyerah, dan memilih berbaring di atas sofa panjang yang berada di ruang kerja Meisha di toko barunya itu.

"Illa maunya sekarang Ma! Bukan besok!"

"Ini sudah malam, Nak. Tukang es krim-nya sudah tutup, sayang." Meisha tetap mencoba sabar.

"Mama bohong! Kita bisa beli eskrim di tempat kita makan sama Papa Bima waktu itu."

"Tapi, Nak disana tempatnya jauh dari sini."

"Kan kita bisa minta antar Papa Bima Ma.  Pokoknya Illa mau es krim Ma, mau es krim!" Illa bersikeras.

"Syahilla! Dengar Mama! Kalaupun tempat beli es krim itu ada di dekat sini, Mama gak akan belikan kamu. Ini sudah malam Syahilla. Besok, besok akan Mama belikan." Meisha mulai tak sabar.

"Illa bilang Illa mau sekarang!"

"Kamu gak bisa dengar Mama ya? Mama bilang ini sudah malam, bukan waktunya untuk makan es krim!"

"Illa tetap mau es krim, Ma!"

"Nggak Syahilla!" Bentak Meisha keras.

"Mama pelit! Mama jahat sama Illa! Nggak seperti Papa Bima. Cuma Papa Bima yang baik sama Illa!"

Meisha menatap kesal pada putrinya, ia sudah lelah sekali hari ini. Apalagi pakai acara melarikan diri dari Raka padahal keadaan toko yang ramai, sudah cukup energinya terkuras habis.

"Mama jahat! Mama nggak sayang Illa!" Ucap Illa kemudian menangis. "Papa ... papa ... papa," racaunya.

"Diam Illa, jangan nangis. Mama pusing. Kan Mama bilang besok, Illa besok! Besok Mama belikan es krim!" Meisha tersulut emosi mengahadapi putrinya yang semakin hari manjanya tak terkendali itu. Apapun keinginannya harus dituruti saat itu juga, tidak bisa dibujuk sama sekali.

Tangis Illa semakin jadi, malah kini ia sudah berguling-guling di lantai. "Papa ... Papa Bima ... Papa,"

"Diam, Syahilla! Berisik! Papa? Kamu harusnya nurut sama Mama Illa!" Bentak Meisha.

"Meisha!" tegur Cecil, kini ia mencoba menenangkan Illa.

"Illa nggak mau nurut sama Mama. Illa cuma sayang sama Papa Bima!"

"Papa kamu bilang? Kamu pikir dia itu Papa kamu? Siapa yang bilang dia itu Papa kamu!"

Tangis Illa seketika berhenti. Mendengar ucapan Mamanya tadi.

"Meisha!" tegur Cecil lagi. "Cukup, Mei."

"Biar Cil, biar dia mengerti kalau Bima itu bukan Papanya. Biar dia berhenti bersikap manja apalagi sama Bima yang bukan siapa-siapa dia itu!"

"Papa Bima, Papa Illa Mama. Papa Bima sayang sama Illa. Dia Papa Illa," jawab Illa seraya terisak.

"Bukan, Mama bilang dia bukan Papa kamu! Harus bagaimana buat kamu mengerti, Illa!"

"Terus, Papa Illa siapa Ma? Kenapa selalu Papa Bima yang ada buat Illa? Papa Illa kemana Mana?" tanya Illa.

Sontak saja Meisha tertegun mendengar pertanyaan putrinya. Ia belum punya jawaban atas pertanyaan Illa.

"Illa beli es krim sama Tante ya," Ajak Cecil pada gadis kecil itu. "Illa keluar duluan ya, ada Om Leon kok diluar. Kita pergi sama Om Leon ya." Titah Cecil menyebut nama kekasihnya yang baru saja tiba untuk menjemputnya.

Illa menurut saja, lalu berjalan keluar dengan langkah gontai.

"Gimana? Bingung sendiri kan mau jawab apa? Aku tau maksud kamu baik untuk Illa. Tapi cara kamu salah Mei," ucap Cecil lalu pergi menyusul Illa.

Meisha yang sadar akan kesalahannya hanya tertunduk lesu. Selama ini sebisa mungkin Meisha selalu sabar dalam menghadapi putrinya. Namun, entah mengapa malam ini kesabarannya menguap begitu saja. Ia ingin Illa berubah tak lagi manja dan bergantung pada Bima.

Ternyata menjadi orang tua tunggal sesulit ini. Meisha menangis memikirkan dirinya yang tak becus mendidik Illa, juga menyesal karena sadar kata-katanya mungkin saja telah menggores hati Illa.

***

"Mei, Meisha," panggil Bima. Tak ada jawaban, yang ia dapatkan justru pemandangan Meisha yang masih duduk di kursi di balik meja kerjanya. Tengah bersandar, namun kepalanya tertunduk. Meisha menangis. Itu yang Bima ketahui saat ia mendekati Meisha.

"Meisha, kenapa?" tanya Bima. Disentuhnya wajah  Meisha, ia menyeka air mata Meisha yang terus turun itu.

Tak ada jawaban. Meisha terus saja menangis. Tanpa suara.

Meisha kenapa? Pikir Bima bingung. Meski ini bukan kali pertama ia melihat Meisha seperti ini. Dulu, saat ia baru bertemu Meisha ia sering mendapati Meisha seperti ini, saat Meisha mengandung Illa. Saat malam hari ia bertandang mengunjungi Meisha di kontrakannya, tak jarang ia memenangkan Meisha yang menangis seperti ini. Dan ia tahu, Meisha menangisi Raka.

Apa mungkin kali ini Meisha menangisi Raka? Batin Bima bertanya.

Bima membawa Meisha dalam pelukannya, hingga tak lama kemudian Meisha tertidur. Jam dinding menunjukkan waktu pukul sebelas malam, Bima berniat mengantar Meisha pulang ke apartemennya. Perlahan ia mengangkat tubuh Meisha, menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil Bima memandangi wajah Meisha. Bibir tipisnya begitu menarik perhatiannya sejak lama. Bagi Bima kecantikan Meisha tak pernah luntur meski sekarang sudah menjadi ibu. Bima mendekat menatap lekat-lekat setiap inci wajah wanita yang mendiami hatinya itu.

Bima semakin mengikis jarak diantara mereka. Malah hidung mereka sudah tak berjarak. Bima ingin menyecap sedikit manisnya bibir Meisha. Sedikit saja. Kini bibirnya sudah menyentuh bibir Meisha, perlahan Bima ingin melepasnya namun Meisha bergerak, membalas ciuman Bima.

Padahal jantung Bima hampir saja copot karena berpikir Meisha akan bangun dan marah padanya. Namun nyatanya Meisha begitu agresif memagut bibir Bima. Bima tak tinggal diam, tak mau Meisha yang memimpin ciuman mereka. Ia turut memagut bibir Meisha begitu dalam dan menuntut.

Namun di detik ke tiga puluh Bima menghitung durasi ciuman mereka, Meisha melepasnya. Masih dengan mata terpejam, Meisha tersenyum. Dan sebuah nama lolos dari bibirnya pasca ciuman panas yang nyatanya ia lakukan dalam keadaan tidak sadar itu. "Raka, Raka," ucap Meisha dengan desahan tertahan.

TBC

Untuk Meisha ✔ (Tersedia Di UNINOVEL dan GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang