Setelah selesai makan, Nariyah membawa Nafisah dan kedua neng tersebut ke tempat yang ada di bagian selatan rumahnya.
Pantai...
Disanalah mereka berada sekarang. Siapa yang tidak mengenal pantai yang sejarahnya sangat melegenda di kawasan kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Pantai Parangtritis. Pantai yang mempunyai beberapa keunikan pemandangan yang tidak ada pada objek wisata lain, yaitu, selain ombak yang besar, adanya gunung-gunung pasir di sekitar pantai, yang disebut gumuk. Di Parangtritis ini juga terdapat ATV, kereta kuda dan kuda yang dapat disewa untuk menyusuri pantai dari barat ke timur. Dan di Parangtritis ini juga menjadi tempat orang berolahraga udara/aeromodeling.
"Wow...."
"Mbak Nafisah, katakan kalau yang saya lihat ini sungguhan!"
Neng Vira berteriak ke arah Nafisah yang masih berada jauh di belakang bersama Nariyah. Menatap tak percaya dengan apa yang baru dialaminya ini. Wajahhya tampak gembira sekali, menampakkan wajah kanak-kanaknya. Dan melompat-lompat tak jelas.
"Neng Vira belum pernah kesini sebelumnya?"
Neng Vira menggeleng.
"Puaskanlah hati neng Vira disini...."
"Saya sangat puas mbak..."
Karena ini pengalaman pertama, dua putri kyai itu tak ingin menyia-nyiakan waktu yang dimilikinya. Mereka berdua ingin sekali menikmatinya. Tapi, berbeda dengan neng Vira, neng Anna bersikap lebih santai karena memiliki pemikiran yang lebih dewasa.
Nariyah dan Nafisah tersenyum bahagia, melihat dua tamu istimewanya itu sangat bergembira. Meski tidak punya sesuatu yang bisa membuatnya bahagia selain itu, setidaknya dengan membawa mereka kesini, bisa membuahkan pahala bagi Nafisah dan Nariyah.
Neng Vira dan neng Anna beranjak menyusuri pasir yang membentang luas di sekitar pantai itu, dengan melepas dua pasang sandal jepitnya--tak peduli dengan panasnya matahari yang beradu dengan pasir menyentuh kulit dua pasang kakinya. Menyaksikan deburan ombak yang saling berkejaran menuju tepian pantai. Menyesuaikan diri dengan dinginnya angin pantai yang menyapa kulitnya. Sesekali duduk di atas gundukan pasir, yang terasa lembut diraba. Melawan teriknya matahari yang semakin menyengat. Terik yang mengancam akan membakar kulit putih keduanya, dan membuat hitam. Tapi, itu tak dipedulikan oleh keduanya. Yang penting masih bisa merasakan nikmatnya pemandangan pantai di pagi menjelang siang itu.
"Tunggu sebentar pak..."
Nafisah memanggil seorang lelaki paruh baya yang sedang menuntun kuda berwarna kecoklatan. Lelaki itu mendekati Nafisah. Obrolan-obrolan kecil tercipta diantara keduanya. Sesekali Nafisah mengambil sesuatu di saku roknya, lalu memberikannya kepada lelaki itu. Sesaat kemudian, lelaki itu sudah tak ada di hadapan Nafisah.
"Neng Vira dan neng Anna ya?"
Kini lelaki yang menuntun kuda itu menyapa dua putri kyai yang sedang asyik menikmati pemandangan pantai kali itu. Keduanya menjawab dengan anggukan kepala diikuti senyum yang juga terukir di wajahnya.
"Mari..."
Lelaki itu memberi isyarat agar salah seorang diantara keduanya, segera menaiki punggung kudanya. Neng Anna mempersilahkan neng Vira untuk menunggang kudanya duluan. Tampak sekali wajah gembira neng Vira. Senang, takut, gugup dan entahlah, semuanya bercampur menjadi satu, saat neng Vira benar-benar duduk di punggung kuda yang sudah berjalan menyusuri pantai dari ujung barat itu.
"Wow.... wow... wow... Vira naik kuda.... kak Fauzan, lihatlah... adikmu sedang menunggang kuda... lihatlah betapa bahagianya adikmu hari ini...."
"Ya Allah.... indah sekali.... wow... aku tak habis pikir.... oh my god..."Neng Vira berteriak kegirangan diatas kuda itu. Nafisah hanya bisa menatap bahagia sang tuan putri dari kejauhan. Nafisah memang tidak begitu banyak mengikuti jejak keduanya. Dia memilih berteduh di bawah tenda yang tersedia di pinggir pantai.
Subhanallah wal hamdu lillah... puji syukur kan selalu teruntuk-Mu ya Allah, Tuhan yang merajai seluruh alam. Nikmat apa yang akan kami dustakan, sedangkan Engkau maha pengasih lagi maha penyayang. Engkau selalu memberikan apa yang hamba-Mu butuhkan, meski dia tak memintanya.
Hampir seharian kedua putri kyai itu enggan untuk beranjak dari posisinya, tapi, dia harus memenuhi panggilan tuhannya, adzan dhuhur sudah terdengar di telinga. Nafisah, Nariyah, neng Vira dan neng Anna, kembali ke gubuk kecil Nafisah.
***
Semoga kalian suka.Sekarang aku update-nya agak rajin, soalnya beberapa minggu kedepan mungkin gak serajin ini up-nya, banyak kegiatan di kampus.
Jangan lupa vote and comment.
Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahiidah (Tamat)
Ficțiune generalăCerita ini menceritakan tentang perjalanan seorang santri dalam menempuh jalan hidupnya, tidak terkecuali kisah percintaannya, hingga ia menemui ajalnya, karena tragedi yang terjadi di pesantren, dan semoga, ia ditakdirkan untuk menjadi seorang Syah...