Peristiwa dua » Matthew

80 17 17
                                    

Aku menghela napas kesekian kali, ini sangatlah membosankan. Ibu menyuruhku untuk membaca buku agar tidak bosan, malah sekarang aku menjadi sangat bosan. Rak buku di rumah sangat banyak menyimpan koleksi buku milik ibu.

Semua koleksinya hanya satu, yaitu tentang peri. Entah itu sebuah dongeng atau apa, peri selalu muncul dalam buku yang berjajar rapi. Entah itu sampul buku bergambar manusia, tapi anehnya yang pertama muncul dalam cerita itu tentang peri!

Aku bosan membaca kisah peri!

Tentang kebaikannya menolong manusia.

Tentang sihirnya yang menakjubkan.

Tentang sayap kecilnya yang bercahaya entah pada malam atau siang hari.

Tentang peri yang digambarkan sebagai cahaya.

Namun, ada salah satu buku yang menjelaskan bahwa peri itu adalah sosok yang jahat. Mereka sering menyiksa manusia dan perbuatan buruk lainnya dengan menggunakan kekuatan mereka. Aku tidak tahu itu benar atau salah, yang jelas jika itu nyata akan menjadi sangat menakutkan.

Semua yang di dalam buku itu menggambarkan peri dalam bentuk kecil dan juga cantik. Ada juga yang menyebutkan banyak jenis-jenis peri, tapi aku langsung menutup bukunya. Sejak kecil aku selalu didongengi kisah peri, jadi aku bosan dengan semua ini.

"Matt! Ayo bermain!"

Oh, ini dia. Reina--teman perempuan yang selalu saja mengganguku, kadang aku ingin sekali menyumpal mulutnya itu dengan kaus kaki milik Zack--anak yang tidak mempedulikan kebersihannya. Aku ingin sekali menyumpalnya agar ia tidak mengoceh terus-menerus.

"Matt?"

Kepalanya mengintip, ia melihatku dengan buku-buku berantakan yang ada di sekitar. Tangannya mendorong pintu lebih besar itu dan menuju ke arahku. Aku hanya terdiam--'tak berminat untuk bangkit dan sekedar menyapa Reina.

Mata hitam Reina terus saja mengawasiku dengan bibir mengerucut sebal--itu sedikit lucu, tapi karena dari lahir aku jarang menunjukkan ekspresi, akhirnya aku hanya berbalik menatapnya dengan pandangan datar. Kakiku ditendang pelan hingga aku mengadu sakit kepadanya. Sepertinya dia kesal kepadaku.

Apa ini sebuah sapaan?

Sekarang berganti--aku yang menatap sebal Reina. Aku berdiri dan memegang pundak Reina, ia hanya bingung dan menatapku, hingga pada akhirnya aku mendekatkan kepalaku dengan kepalanya dengan cepat. Menciptakan sebuah suara dua benda yang saling bertabrakan.

Kita berdua langsung terjatuh dan memegang dahi masing-masing. Kulihat Reina mengadu sakit beberapa kali hingga sudut matanya itu mengeluarkan air mata.

Apakah aku terlalu berlebihan?

"MATT JAHAT!"

Ia mulai menangis, aku jamin tangisannya sangat kencang hingga membuat tetangga mendengarnya. Dengan cepat aku membekap mulutnya, meminta agar ia berhenti menangis. Ini sungguh tindakan yang buruk, aku yakin jika ibu melihatku pasti dia akan memukulku. Untunglah saat ini dia tidak ada di rumah.

"Tenanglah, Reina."

Aku membuang napas. Untunglah ia mulai sedikit lebih tenang dari tadi. Aku mengusap rambutnya pelan--kata ibu cara agar berhenti menangis adalah dengan mengusap rambutnya dan memberikan kehangatan kepadanya--aku tidak tahu yang terakhir bagaimana, jadi aku lakukan saja yang pertama.

Rambut Reina sangat lembut, tapi masih lebih lembut rambut ibuku. Rambutnya berwarna coklat, itu seperti warna mataku! Kata ibuku kita ini sangat dekat bahkan seperti kakak dan adik, mungkin karena kita sudah berteman sejak dalam kandungan? Tangisannya berhenti, aku meliriknya ia masih saja memegang dahinya--kuakui itu tadi sakit, tapi aku ini laki-laki jadi tidak boleh menangis--itu yang dikatakan ayah.

Olifia's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang