Wanda punya kerpibadian yang terbuka pada hal tertentu. Misalnya cara pandang dalam menghadapi situasi. Dia frontal dalam memberikan pendapatnya.
Tapi sekarang. Berbanding terbalik. Di pertemuan awal, Wanda bisa menyampaikan serapahnya pada Charis. Tapi sekarang. Lelaki itu tidak menyerah meskipun Wanda memberikan penolakan yang besar. Sehingga rasanya serapah saja tidak cukup.
"Kalau kamu butuh waktu ya nggak apa-apa. Bagi aku, waktu selama apapun, akan selalu worth it. Buat kamu."
Wanda memalingkan wajahnya. Baru kali ini dia merasa kelu dan tidak bisa membalas semua kalimat yang disampaikan Charis. Dia bisa saja menjawab bahwa bukan waktu yang jadi masalah di antara mereka. Tapi, Wanda sendiri. Dia merasa bahwa masalah ada pada dirinya.
"Jangan gini Ris," akhirnya hanya itu yang mampu keluar dari bibir Wanda.
Selama makan siang, tatapan Charis begitu melekat untuk Wanda. Sekalipun ketika gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Charis setia. Melihat Wanda dari jarak sedekat ini adalah moment luar biasa. Seakan menjadi kesempatan terakhir. Charis mengabadikannya tiap detik.
"Kenapa? Aku ngomong jujur."
"Aku nggak suka berharap."
"Aku nggak kasih harapan ke kamu Wanda. Ini sebuah kepastian."
Wanda merasa sesuatu. Hal ini tidak terjadi jika dia bertemu dengan orang lain. Untuk pertama kalinya, Wanda merasa bahwa dia bertemu dengan laki-laki yang menumbuhkan bibit harapan. Yang dulu dia percaya, bahwa harapan selalu berdampingan pada rasa kecewa.
"Ini.. terlalu tiba-tiba."
"Iya, makanya aku kasih waktu kamu buat berpikir."
"Aku nggak bisa mikir," Wanda kembali bicara jujur. Baginya, bertemu dengan Charis adalah sesuatu yang tidak dia rencanakan. Apalagi, mendapatkan perhatian sebesar ini. Wanda tidak mampu memperkerjakan otaknya dengan baik. Sebaik dia lakukan saat awal bertemu dengan Charis.
"Kamu nggak tahu aja, tiap kali aku ketemu sama kamu semua indra aku nggak berfungsi."
Wanda tertawa, jemarinya menutupi sebagian bibirnya, menahan tawa itu. "Lebay sih kamu."
Charis tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Tiap tindakan yang diberikan oleh Wanda seperti memelan. Adegan slow motion. Dan semua itu seperti buah ranum di tengah dahaga. Membuatnya senang. Karena euforia yang meletup-letup.
"Yang selalu berkaitan dengan kamu. Akan menjadi berlebihan. Lebay Nda."
Nda katanya.
.
Satu hal lain yang mampu membuat Charis tertarik dari Wanda. Yang baru saja dia ketahui sekarang. Gadis itu tahu diri. Dalam artian. Wanda adalah seorang muslim yang rajin beribadah.
Saat ini, setelah dirinya melakukan sholat lebih dahulu, Charis meminta Jo menyiapkan mukena di mushola ruangannya. Warnanya biru langit. Sesuatu yang terlihat pantas dengan Wanda.
Saat keluar dari mushola, rambut Wanda yang hanya sepanjang bahu diikat asal. Anak-anaknya keluar san lepek karena basuhan wudhu. Saat itu, wajah Wanda jauh lebih memukau. Bercahaya. Menyengat. Dan menyejukkan.
"Kenapa deh liatin gitu?" lalu scene berubah, Wanda melepas ikatan rambutnya. Membuat aura kecantikan yang dipancarkan gadis itu meningkat jauh lebih banyak.
"Gapapa. Cantik." Ujar Charis tanpa sadar. Sialan. Dia memang sudah jatuh. Sangat jauh dalam pesona Wanda yang menuntut.
"Jangan gitu. Aku ga suka. Aku kaya ditelanjangi sama mata kamu."
YOU ARE READING
A Midsummer Nights Dream ✔
FanfictionWanda hanya tidak percaya pada cinta. Dia memilih melakukan apapun sendirian. Lalu Charis datang. Membuktikan cinta itu punya kekuatan magis. Tapi Wanda tidak pernah percaya. Bagi Wanda, cinta sangat menyakitkan. Bagi Wanda, cinta hanya membawanya p...