Angin semilir lembut melayangkan kenangan di hadapan mereka. Masih berada di pondokan, Kinal dan Naomi sama sama terdiam memandang lurus kedepan pada hamparan kebun teh yang sangat luas. Naomi tersenyum, Kinal melirik juga ikut tersenyum.
Angin yang sedikit kencang menyibakkan rambut panjang Naomi yang di biarkan tergerai.
Rasa risih menghinggapi, itu terlihat ketika Naomi beberapa kali membenarkan tatanan rambut yang di ganggu oleh angin.Kinal tersenyum lagi, memasukkan sebelah tangan ke saku celana dan mengambil sebuah benda dari dalam sana. Naomi terkaget ketika Kinal yang tiba tiba menyentuh kepalanya, lebih tepatnya menyentuh rambut dan memasangkan sesuatu disana. Jarak mereka semakin dekat, yang awalnya mereka sudah duduk berdekatan kian merapat ketika Kinal mendekat. Wangi yang berasal dari tubuh masing masing dapat mereka rasakan. Desiran halus tiba tiba Naomi rasakan.
Setelah memasangkan jepit rambut berwarna biru itu Kinal menatap wajah Naomi yang tiba tiba menunduk. Kinal tak lepas memandangi Naomi, Naomi yang sadar jika di pandang terus oleh Kinal sedikit malu malu untuk memegang benda yang sudah Kinal pasang di rambutnya.
"itu jepit rambut kamu yang jatuh pas aku obatin di sini" Naom memandangi wajah Kinal meski harus berperang batin dahulu.
"kamu cantik" ah Kinal, kau tak tahu jika perkataan itu sangatlah mendebarkan. Naomi menunduk di buatnya, dia takut, takut jika Kinal melihat semburat kemerahan yang sudah tercetak di kedua pipi, dan rasa hangat langsung menjalar keseluruh tubuh Naomi
Kinal menjauh dan tertawa kecil dan Naomi pun menjadi sangat malu. Baru kali ini dia merasakan rasa aneh seperti ini, bahkan dengan orang tercintanya dulu tak sampai sebegini nya.
"Omi, enak ga tinggal di Jakarta?" tanya Kinal tiba tiba tanpa menatap Naomi. Naomi terkesiap, Omi? Baru kali ini ada orang yang memanggil nya dengan nama itu.
"aku panggil kamu Omi, gapapa?" tanya Kinal yang menyadari wajah tanya dari Naomi. Naomi mengangguk. "iya gapapa, Kindutt" jawab Naomi sedikit tertawa. Kinal menghadap Naomi cepat. "Kinal Gendut" lanjut Naomi menjawab pertanyaan Kinal.
Bukannya marah, Kinal malah tersenyum. "ada ada saja kamu" ujarnya lagi dan kembali meluruskan pandangan ke depan.
"ada enak ada ga enak nya juga, tergantung"
"hmm, gitu"
"kenapa? Kamu mau ikut aku ke Jakarta?" tanya Naomi. Tapi Kinal diam beberapa saat lalu menggelengkan kepala. "ayah, ibu ga bakalan kasih izin" ucap nya lesu. "kok gitu?" heran Naomi. Kinal menaikkan kedua bahu seraya menjawab "aku aja ga tau, setiap mau ke Jakarta pasti ga di bolehin"
Naomi menepuk pundak Kinal, Kinal menoleh. "Gimana kalo pakek cara ekstrem?" alis Naomi terangkat satu.
Lama Kinal berpikir, mencoba mengartikan ucapan Naomi. Tak lama dia tahu artinya, "ga ah, takut mereka marah" Kini Naomi yang terlihat lesu.
"yahh, kalo gitu biar aku yang minta izin"
"izin apa hayoo? Kalo suka ga perlu izin atuh" goda Kinal. Naomi kembali malu dan memukul bahu Kinal pelan. "kamu mah, orang serius juga" Kinal tak menanggapinya, malah tawa khas seorang Kinal dia tunjukkan, u know lah gimana tawa nya si paus satu ini.
---
Malam pun tiba,
Kinal menuruni anak tangga untuk makan malam di bawah. Tiba tiba langkahnya terhenti ketika mendapati seseorang yang tak ingin dia lihat. Matanya memandang tak suka, sangat tak suka.
"hahahaha" tawa beberapa orang di meja makan terdengar menjengkelkan di pendengaran Kinal. Selalu, jika ada orang itu mood Kinal berubah drastis, entahlah apa penyebabnya diapun tidak tahu