Pingsan

37 6 0
                                    

Kayanna menuruni undakan tangga dengan ragu. Ia mendapati Mama Papanya yang seperti biasa—sedang makan pagi di ruang makan. Hening. Tidak terdengar suara mereka sedang berbincang. Mudah saja ditebak, mereka masih saling bermusuhan satu sama lain. Entah sampai kapan. Intinya Kayanna ingin semuanya seperti dulu. Kayanna ingin sekali memiliki eunoia tentang keadaan keluarganya nanti. Namun ia tetap tak bisa. Pikiran negatif-lah yang selalu muncul di dalam benaknya.

Kayanna meraih roti di atas meja dan meminum susunya seteguk. Lalu langsung pergi tanpa pamit.

" Mau kemana?" Bobby bertanya cuek.

Kayanna terdiam.

" Ditanya kok malah diam."

" Sekolah." Jawab Kayanna seadanya.

" Kenapa malam baru pulang? Lupa kalau punya rumah? Sekalian saja gak usah pulang." Bobby telah membuka celah untuk perdebatan.

" Ide bagus, Pah."

Bobby segera meletakkan sendok dan garpu-nya. Berniat ingin bangkit dari kursi. Tetapi tangannya sudah ditarik oleh Anggi.

" Sudahlah. Pagi-pagi jangan ribut. Kay, makan dulu ya."

" Kay harus pergi. Di rumah ini, kehadiran Kay udah gak diinginkan lagi. Jadi percuma." Kay bergegas pergi. Dadanya sesak sekali berada di dalam rumahnya sendiri. Suasana rumah itu selalu menyiksa setiap harinya.

" Lebih baik kamu antarkan Kayanna ke sekolah." Kata Anggi ketus kepada suaminya.

" Dari kecil dia sudah dimanja. Sekarang waktunya ia mandiri. Biarkan saja."

Kayanna semakin tidak kuat berada di dalam rumah tersebut. Ingin segera meninggalkan rumah. Bila perlu selamanya ia tak akan kembali.

" Kay, diluar mendung. Kalau hujan, neduh dulu. Jangan diterobos!" Teriak Anggi dari depan pintu rumah.

" Emangnya Mama peduli?" Balas Kayanna tak kalah keras.

Kayanna segera menaiki ojek online yang sudah dipesannya. Mobilnya sedang diperbaiki di bengkel. Terpaksa, ia harus menaiki ojek online agar cepat sampai tujuan.

Perjalanan dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, 20 menit sudah sampai apabila memakai sepeda motor.

***
Setengah perjalanan telah dilalui. Dengan santai, Abang ojek online itu memajukan sepeda motornya di jalanan yang lengang.

" Bang, buruan dong. Saya udah telat nih!" Kayanna mulai mengoceh.

" Telat darimana Mbak? Ini masih jam setengah 7. Memangnya Mbak masuk sekolah jam segini?"

" Bang, ini udah mau hujan. Udah mendung ini!"

" Ini memang musim hujan." Jawab Abang ojek itu santai.

" Iya makannya buruan Bang! Cepetan!"

Bertepatan dengan Kayanna yang berteriak, sebuah sepeda motor melewati mereka dengan suara knalpot yang keras.

" Apa Mbak? Gak kedenger."

" Aduh, Bang!! CEPETAN!!" Abang ojek itu berhasil membuat Kayanna kewalahan menahan emosinya.

Pepatah dulu memang benar. Ucapan adalah doa. Inilah buktinya. Hujan kembali mengguyur kota Jakarta. Kali ini langit menangis dengan sangat deras. Para pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. Pesepeda motor menghentikan motornya—mengenakan jas hujan.

" Tuh kan, Bang! Hujan!"

" Saya tau Mbak. Hujan. Gimana, Mbak mau neduh dulu?" Abang ojek semakin memperlambat laju kendaraannya.

Verruckte LiebeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang