Tempat itu dipenuhi oleh perahu, di ciptakan dengan banyak dermaga. Tempat pemberhentian yang merangkap pula menjadi tempat pemberangkatan. Tempat mengikhlaskan yang pergi untuk mempersilakan yang datang.
Gadis bersurai panjang itu setia menunggu, memilin ujung bajunya gugup. Gelombang pasang menghantam dermaga, kenari coklatnya memperhatikan.
“Jia!” seseorang menyadarkannya, membuat reflek gadis itu berkerja, ia menoleh.
“Iya Om?” balasnya sambil beranjak, merapihkan sejenak setelan rok katun yang dipakainya.
“Ayo kita pulang.” Jia- gadis itu- dengan berat hati melangkahkan kaki.
“Dia takan kembali Jia, takan pernah kembali,” Om nya bersuara membuat Jia semakin murung.
Belum genap keduanya bersisian, Jia berhenti. “tapi Om Yuta. Jun pernah bilang, dia akan pulang.”
Yuta menoleh tak membalas apapun, pria itu bersimpati. Sebagai Om, Yuta tidak tau harus melakukan apa untuk keponakannya. Sejauh ini Yuta sekedar mengantarkan gadis itu ke Pelabuhan, membiarkannya berlama-lama disana, setelahnya membawa gadis itu pulang.
Jia menatapnya, manik coklat itu sudah beribun. Gadis itu membuka mulut mengucapkan sesuatu. “a ... aku masih mau disini Om.”
Yuta menyerah, pemuda berusia hampir kepala empat itu melangkah mendekat. Menarik gadis itu dalam pelukan. Seperti dugaannya gadis itu terisak, Yuta mengusap surainya lembut.
“Boleh Jia, tentu saja. Biar nanti Nana yang jemput kamu kesini.” Yuta mengurai pelukan. Jia tampak malu mengusap kedua pipinya dengan telapak tangan. Gadis itu tersenyum mengangguk.
***
“Mau sampai kapan kau disini bang?” teguran kesekian yang dia dengar.
“Sampai saya cukup berani untuk pulang,” jawabnya lesu. Pemuda itu memainkan belati ditangan.
“Apa yang membuat abang tak berani buat pulang?” si pemuda mengangkat bahu, menghela napas, mengangkat belatinya menancapkan pelan ke pegangan perahu.
“Saya belum siap menetap.” Kenari hitam segelap malam itu memandang hamparan laut. Menerka seberapa luas hamparan airnya, memperkirakan dimana ujungnya.
“Gadis itu mengijinkan saya berlayar.” Dan pemuda itu lupa bila dirinya pernah memberi janji sebuah kepastian. Pelabuhan terakhir.
“Apalah yang kau cari bang? Saban hari saya lihat abang mondar-mandir dari satu pelabuhan ke pelabuha lain.” Pemuda itu tetap setia pada lautnya. Menatapi tanpa mengerti rasa rindu dihati.
“Perjalanan. Saya butuh sesuatu untuk diceritakan kepada anak saya nantinya.” Balasnya dengan senyum.
Pemuda itu menoleh, mencabut ujung belatinya. “masih banyak pelabuhan untuk cerita saya.” Pemuda itu tertawa. ujung belatinya mengitari laut, menceritakan bahwa air ini masih terlalu luas untuk dirinya berhenti disini.
“Terserah kaulah bang. Dan oh Ayolah bang ceritakan lagi tentang itu dermaganya abang.” Pemuda itu terkekeh mendengar celetukan Le.
“Kisah apa yang belum saya ceritakan pada kamu tentang dermaga itu?” Jun terkekeh, merangkul pundak Le –sosok pemuda yang sudah dirinya anggap saudara.
“Kau tau Le? Dermaga itu seharusnya jadi tempat terakhir perjalanan saya berlayar. Di satu pelabuhan, saya akan mengikat perahu saya disana. Menjadikan sosoknya tempat saya berpulang.”
“Amboy romantisnya.” Le tergerak untuk kembali bertanya. Sebelum Jun memotongnya.
“Sudahlah banyak bertanya kau ini.” Jun menarik tangan, tertawa jenaka saat melihat wajah Le yang cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga Si Tuan Perahu
Short Story"Apa yang membuat abang tak berani buat pulang?" "Saya belum siap menetap." "Kau tau Le? Dermaga itu seharusnya jadi tempat terakhir perjalanan saya berlayar. Di satu pelabuhan, saya akan mengikat perahu saya disana. Menjadikan sosoknya tempat saya...