1

190 22 0
                                    

Pertama kali Jimin melihat obsidian Jungkook, ada keangkuhan yang melekat di dalamnya. Tiap-tiap kesombongan yang menggelayutinya, tiap-tiap mata yang mengikuti setiap gerakannya, pun satu dua kali kedikan menggoda pada alis kirinya.
Kali pertama Jimin dihadapkan dengan obsidian Jungkook, ia terpesona, pada bagaimana caranya mengarahkan pandangan, pada bagaimana dagunya diangkat dengan tatap meremehkan. Dan pertama kali obsidian Jungkook menatap pada sabit miliknya, ia melihat jutaan kalimat tanya. Bersembunyi di balik gelap maniknya yang sehitam jelaga.

Jimin kagum pada bagaimana Jungkook menyampaikan pendapatnya, pada bagaimana pemuda itu berucap dengan terlampau percaya diri kala Mr. Park mendapatinya memainkan game di ponselnya dan mengabaikan keseluruhan materi. Tapi, Jungkook menjawab pertanyaan dosen itu tanpa menatap kearahnya, tanpa peduli bahwa pria paruh baya itu hendak membungkusnya dalam kantong sampah dan membuangnya. Jungkook memang cemerlang, emas melekat pada tiap-tiap bagian tubuhnya, bahkan bagian terkecil hingga ke urat syarafnya.
Jungkook terlatih untuk menjadi yang paling sempurna, terlatih untuk layak berdiri di sisi kedua saudaranya. Jungkook terlatih untuk memenangkan segalanya, untuk menggenggam dan mengangkat sendiri kebanggaan miliknya.

Jimin bertemu dengan Jungkook di kedai kopi pada hari Selasa. Bersama Kim Taehyung, pemuda itu melangkah menghampirinya. Kata Taehyung hari itu, Jungkook adalah sepupunya, bocah yang singgah dalam hidupnya 16 tahun lamanya. Kala itu, Jimin tak tahu apakah senyum miliknya atau jabatan tangannya cukup untuk menyambut Jungkook yang gemilang dengan seluruh puji dan puja.
Hari itu, Jimin tahu Jungkook yang sempurna adalah adik dari kedua sahabatnya. Seokjin dan Namjoon yang sama gemilangnya. Dan Jimin tak akan pernah sanggup membayangkan seberapa terangnya berdiri di atas sana, di atas singgasana yang pada tiap-tiap sisinya dilimpahi kasih sayang dan cinta.

"Jungkook benar-benar sialan." Ucap Taehyung padanya, menggerutu sebab Jungkook yang duduk di sisinya membuat setiap mata mengarah pada mereka (tepat saat Mr. Park menegurnya). "Harusnya kita duduk di depan saja." Bisiknya pada Taehyung yang menutup muka dengan kedua tangannya.

Kedua obsidian Jungkook selalu memandang remeh kala mereka yang menatapnya menyaratkan puja pada setiap lirikannya. Tapi, kala Jimin tatap kedua obsidian Jungkook dengan bersahaja, sebab ia temukan Jungkook yang berbeda, Jungkook balas dengan tatap sepi yang terpantul dari irisnya yang sehitam jelaga. Jika bagi mereka Jungkook adalah emas yang membalut apiknya mahkota yang di sangga di puncak kepala keluarganya, maka bagi Jimin, Jungkook adalah bocah 18 yang kelewat bekerja keras, sebab ia pun menjunjung mahkotanya yang terbuat dari emas.

Siapa yang tak kenal keluarga Kim? Sungguh mereka bukan seorang konglomerat pun keturunan raja. Mereka orang biasa, mantan anggota dewan yang membawa banyak perubahan. Jungkook memang bukan seorang Kim, ayahnya seorang Jeon, tapi ibunya adalah Kim yang sesungguhnya. Selayaknya Kim bersaudara, sudah sepantasnya Jungkook tumbuh menjadi sama gemilangnya. Alih-alih menebar senyum untuk segala prestasi yang telah diraihnya, Jungkook justru menyimpan senyumnya hanya untuknya seorang diri, sebab ia takut jika senyum yang diumbarnya membuatnya lupa dan terlena. Sebab mata yang selalu menatapnya penuh puja bisa saja pengawas yang siap menyiramkan bisa.

"Mr. Jeon dan dua teman yang cengengesan di sampingnya, silakan keluar." Shit. Bisa-bisanya Mr. Park memintanya dan Taehyung keluar dari kelas mengikuti si Jeon yang sama sekali tak memperhatikan ekspresinya yang memelas. Sumpah demi kepala botak si Park yang berdiri di atas podium dengan pointer menyala-nyala, Jimin bahkan harus susah payah mengubah huruf E menjadi C di matahkuliah ini, tapi sekali lagi Jungkook yang terlalu biasa saja justru kembali menghancurkan kerja kerasnya. Dan apa tadi? Cengengesan? Ya Tuhan, ia bahkan hanya meringis menahan malu dengan apa yang telah Jungkook lakukan, bagaimana bisa orang itu menganggapnya sebagai cengengesan? Brengsek sekali, sialan. "Dengar Jung, kalau aku kembali mendapatkan E, akan ku robek kepalamu." Bisiknya pelan pada si Jeon yang berjalan di depan.

Setelah tradisi membungkuk pada si botak yang terus-terusan mengungkit perbuatan mereka yang tidak ada baik-baiknya. Mereka melangkah keluar, sengaja menutup pintu dengan sedikit lebih kasar dari yang seharusnya. Benar-benar si Jeon itu, ya. "Jimin, aku benci sekali pada bocah itu, harus kita apakan dia?" Taehyung menempeli tubuhnya, terang-terangan mencoba menakuti-nakuti Jungkook dengan rencana-rencananya. "Ayo culik saja dia, minta tebusan keluarganya dan kembalikan setelahnya, bagaimana?" usulnya, melirik sinis pada presensi di belakangnya yang hanya mendengarkan dengan senyum tipis yang mengembang. "Kurang kerjaan sekali sih menculiknya. Bukannya dapat untung banyak, malah sebaliknya. Dia kan makannya banyak, mirip sekali seperti babi." Ucap Taehyung, sekadar spontanitas saja, tapi detik selanjutnya dengan setengah bercanda Jungkook berlari mengejar Taehyung dan memiting lehernya. Jimin sih, hanya senyum-senyum saja, rasanya menyenangkan sih, kalau melihat dua bocah itu berkelahi seperti itu, senyum mereka menghancurkan luka dalam hati mereka yang tak sanggup dibalut pun di sembuhkan.

Rasa-rasanya Jimin adalah orang terakhir yang hadir dalam lingkar persahabatan mereka. Si Kim bersaudara, Min bersaudara, Taehyung dan Jungkook sekaligus. Mereka sepertinya tak benar-benar kaya, soalnya dibandingkan singgah di rumah mewah mereka, mereka justru menghabiskan banyak waktu di rumahnya yang sederhana. Merombak seluruh isi rumahnya, membongkar dan menambah barang baru sesuai keinginan mereka. Jimin tidak keberatan kok, lagipula mereka menggunakan uang mereka dan bukan malah minta jatah dari Jimin sebagai pemilik rumah yang sah. Mereka merubah keseluruhan bagian di lantai dua, mengundang seorang interior designer, memaksa salah satu teman Yoongi-si Min-itu untuk membongkar dua ruangan di lantai dua dan menyatukannya. Jujur saja, sebenarnya Jimin mau-mau saja melarang mereka, tapi kalau di larang mereka malah mengusirnya dari lantai dua dan memaksanya tidur di kamar mendiang ibunya. Tidak, apapun asal jangan kamar ibunya, sebab kamar itu menyimpan luka sekaligus obat yang dipendamnya, dan tak seorangpun diperbolehkan untuk melihatnya. Melainkan Jungkook, yang pernah mendapatinya menangis di tengah malam sebab merindukan pelukan ibunya. Dan Jungkook menawarkan dekapannya yang tangguh untuk menghapuskan rasa rindunya.

Kata Jungkook waktu itu, "aku juga sering rindu pada mama. Tapi aku masih lebih baik darimu, soalnya aku masih punya mami sama papinya Seokjin dan Namjoon." Padahal, Jimin sendiri tahu, tak ada yang lebih baik dari semua itu. Jungkook sering diam-diam datang ke rumahnya tanpa bicara dan memeluknya sembari terlelap sebab dia rindu pada ayahnya. Tapi dia selalu berkata bahwa dirinya lebih baik dan terus menjadikannya ukuran untuk bersyukur, walaupun sesungguhnya Jungkook bisa berkata jujur kepadanya, bahwa ia lelah dan menyerah, bahwa ia merindukan dan butuh sebuah dekapan.

Sejak kali pertama mereka merengkuh Jimin dalam lingkup hangat sebuah persahabatan, pandangan pada Jungkook tak pernah berubah sedikitpun, baginya, Jungkook hanyalah bocah 18 yang butuh dekapan kala harinya hancur berantakan. Baginya, Jungkook hanya butuh teman, bukan teman untuk menemaninya dalam kebersamaan, tapi seorang teman yang mau mendengarkan, sebab Jungkook selalu merasa kesepian. Sebab Jungkook terlalu takut untuk berdiri sendirian.

Tapi Jungkook, hanya perlu berdamai, dengan hatinya yang diliputi badai.

.

.

.

VeeAngg

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang