Aku menatap jam yang melingkar indah di pergelangan tangan kiriku. Kurang dari satu jam lagi pesawatku akan berangkat, tapi Jovan tidak kunjung menampakkan dirinya.
Kakiku mulai bergerak dengan gelisah. Aku percaya padanya. Aku percaya jika dia akan datang. Tapi.. Bagaimana jika dia datang terlambat?? Rencana kami bisa kacau. Belum lagi jika pengawal pribadiku mulai menyadari kejanggalan yang terjadi di pesta sebab aku tidak ada disana.
Ohh Tuhan.. Setelah melewati semua badai ini, kuharap jangan ada lagi. Aku ingin hidup tenang dengan Jovan.
Aku tidak bisa menyalakan ponsel, keberadaanku bisa dilacak melalui benda kecil itu. Ahh, aku lupa, lagipula ponselku sudah kuhancurkan dan kulempar ke tempat sampah sejak aku keluar dari rumah megah yang terasa seperti penjara itu.
Ngomong-ngomong tentang rumah itu, sebenarnya berat untuk ditinggalkan. Semua kenangan masa kecilku hingga sekarang aku berusia 25 tahun, semuanya akan tetap ada di sana. Semua kasih sayang yang aku terima, semua kebahagiaan yang akan terus kuingat, dan tentu saja semua air mata dan kepedihan yang pertama kali kudapatkan. Semuanya akan tetap tertinggal di rumah itu. Rumah mewah yang penuh dengan kebagiaan itu berubah menjadi penjara air mata. Ohh.. Bagaimana mungkin kebahagiaanku bisa hilang secepat aku membalik telapak tangan.
Papa..
Mama..
Eyang..
Semuanya berubah. Aku kehilangan segala hal hanya dalam satu hari. Hari itu.. Aku tidak akan pernah lupa.
Lalu.. Disaat aku kembali menemukan rumah, disaat aku menemukan kebahagiaan, haruskah kulepas juga??
Tidak. Keputusanku sudah benar. Hanya Jovan yang aku punya saat ini. Apapun yang ditawarkan dunia, aku tidak lagi tertarik. Hanya Jovan..
Tidak masalah jika aku tidak mendapat harta warisan yang katanya tidak akan bisa habis hingga turun-temurun. Aku tidak peduli. Pakai saja harta itu sesuka kalian. Asalkan ada Jovan, aku sudah tenang.
Mataku terasa memanas ketika mengingat Mama.
Maafkan Meera, Ma.. Meera tidak bisa tetap tinggal di rumah itu seperti keinginan Mama. Maaf aku tidak bisa bertahan sekuat Mama. Kuharap Mama tetap bahagia di rumah itu sekalipun tanpa Meera.
"Meera.."
Aku mengangkat kepalaku. Kutemukan pemuda itu. Satu-satunya orang yang aku tunggu sejak tadi.
"Jovan.." Aku segera berdiri. Kupeluk dia sekuat yang aku bisa.
Aku ketakutan. Ketakutan terbesar yang lagi-lagi kurasakan.
"hei, beib, what's wrong??"
Aku tidak menjawab pertanyaan Jovan. Aku terus memeluknya.
Tuhan, ada apa?? Kenapa rasanya aku seperti ketakutan??
Apa akan ada hal buruk yang terjadi??
"Meera, kamu kenapa??" Aku merasakan Jovan mulai membalas pelukanku.
Hatiku terasa semakin sesak. Perasaan ini kembali muncul. Aku merasa kakiku mulai gemetar.
"Meera, ada apa??" Terdengar lagi suara yang penuh kekhawatiran itu. Lelakiku, dia lelakiku. Jovan Axel Stevano.
"jangan pernah tinggalkan aku Jovan.. Jangan." Kataku pelan.
"Meera.." Aku merasakan Jovan melepas pelukan kami. Ditatapnya mataku dengan mata coklat terangnya. Mata itu.. Hal pertama yang membuat aku jatuh cinta padanya.
Sekarang aku mulai paham mengapa dulu aku merasa seperti mengenal Jovan dengan baik setiap menatap matanya, iyaa, matanya berbicara dengan jelas. Aku bisa membaca setiap hal tentang Jovan hanya dengan menatap matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
8 Hari Menuju kehidupan
Mystery / ThrillerDari aku, Almeera, di tahun 2020 Tidak pernah terbayang jika aku bisa berjalan sejauh ini. Aku pernah terjatuh, tertatih, lalu kembali terjatuh. Hari ini, ditempat aku duduk, kutatap langit yang berawan putih. Tidak pernah kusangka jika awan yang...