f i v e

536 15 1
                                    

Setahun yang lalu

"Kamu suka yang ini atau yang ini?" Aku menoleh sekilas saat Mama menunjukkan dua lembar foto laki-laki.

"Terserah Mama." Pasrah saja. Toh cepat atau lambat, siapapun dia. Wajib hukumnya bagiku bersanding dengan laki-laki pilihan Mama di pelaminan nanti.

"Kalo Sony, lebih kaya dikit sih. Mallnya ada enam, eh tujuh, Ris! Tapi ketuaan kalo buat kamu kayaknya. Yang ini aja gimana? Namanya Andre. Dia pernah kesini juga lho, Na. Renang sama Papa."

Tak sedikitpun aku berminat melihat dengan seksama foto dua laki-laki yang katanya kaya raya itu.

"Lebih ganteng Andre juga Ris, kalo dibanding Sony. Iya gak, Cal?" Bang Ical yang sedang membaca majalah bola di samping Mama mencebik.

"Kok Ical disangkut pautin? Yang mau nikah siapa, yang ditanyain siapa?"

Kalimat Bang Ical terjeda, "Sebelum Mama tanya Rissa mau sama yang mana, mending Mama tanya dulu, Rissa udah siap nikah apa belom. Kuliah juga baru berapa semester."

"BERANI KAMU NGAJARIN MAMA, CAL?"

Seperti biasa, Mama kalap kalau mendapat penolakan, kalimat bantahan ataupun wejangan.

"Susah ngomong sama Mama." Bang Ical beranjak dari duduknya, naik ke lantai dua.

"Dasar anak kurang ajar." Kalimat pembuka sumpah serapah Mama terdengar mengerikan, aku hanya mampu terduduk pura-pura tak mendengar makian Mama untuk Bang Ical.

Begitulah awal mulainya kisahku dengan Andre, suami bajingan tak punya adab itu.

"Tante berani jamin, anak tante masih segel, Nak Andre. Nak Andre pasti nggak akan menyesal. Nak Andre tau sendiri kan, hari gini susahnya cari yang masih perawan." Begitu Mama menggembor-gemborkan aku di depan Andre.

Andre hanya tersenyum-senyum mesum, waktu itu. Membuatku bergidik. Ngeri.

***
Setahun berlalu, aku sudah hidup normal dalam artian aku sudah bebas pergi ke mana-mana tanpa bodyguard. Tapi untuk kehidupan ranjang, mohon maaf harus aku katakan, bahwa kehidupan bathin yang katanya surga dunia itu jauh dari kata normal.

Setiap kali Andre mengkode ku untuk melayaninya, keringat dingin membanjiri dahi dan tengkukku. Bayangan akan sakitnya disetubuhi berkali-kali tanpa pemanasan memenuhi rongga kepala. Sehingga, tak sekalipun aku menikmati apa yang Andre lakukan terhadap tubuhku. Semuanya hambar, tak ada rasa kecuali nyeri dan perih.

Aku memasukkan sejumlah uang ke dalam ransel mini, memasukkan empat stel baju ke dalam tas laundry, mematahkan kartu SIM dalam ponsel androidku, lalu memasukkan ponsel itu ke dalam laci meja di kamar.

Fahmi terbang semalam ke Hongkong untuk urusan bisnis, dan seperti biasa, minimal tiga hari dia baru akan kembali. Aku sudah merencanakan ini sedari lama, dan kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Aku sungguh bertekad untuk pergi. Aku ingin hidup normal seperti manusia lainnya.

Seperti biasa, setiap kamis pagi aku akan mengantar baju kotor ke laundry. Fahmi mengizinkanku untuk melakukan ini, karena laundry langgananku masih di dalam area komplek.

"Pak Edward, kran di kamar saya tidak bisa dimatikan. Tolong panggil tukang service ya, Pak. Saya mau antar laundry sebentar."

Kebetulan kran di kamar mandi ku memang bermasalah, jadi supaya tidak ada kecurigaan, sengaja aku mengalihkan fokus lelaki tambun itu ke kran bocor di kamarku.

"Diantar Agus, Nyonya?" Seperti biasa, Edward berbasa-basi menawari ku untuk diantarkan. Dan seperti biasa pula, aku menolak. Toh kepercayaan mereka sudah aku dapat, aku selalu pulang tepat waktu jika keluar rumah tanpa pengawasan.

"Nggak, Pak. Saya jalan kaki saja. Dekat, biar sehat." Aku mengangguk, pamit.

Pintu gerbang ditutup, aku mempercepat langkah. Keluar dari gapura komplek, menuju ke pangkalan ojek, sekitar setengah kilo dari perumahan.

Aku memasukkan laundry bag yang ku jinjing sedari tadi ke dalam ransel mini. Membonceng kepada Bapak separuh baya yang siap mengantarkan aku ke terminal. Aku bersumpah, aku akan pergi sejauh mungkin dari kota ini.

***
Langit mulai menggelap, aku duduk di bangku nomer tiga dari depan. Memeluk ransel mini yang berisi baju dan sejumlah uang. Kantuk mulai menyerang, padahal matahari baru saja lengser di peraduan.

Perlahan tapi pasti mataku ingin memejam. Tujuanku adalah salah satu kota di Jawa Timur. Entah akan tinggal dimana, itu belum kupikirkan. Perjalanan masih sangat panjang. Ku teguk sedikit air mineral botolan yang sempat kubeli di terminal tadi. Kantuk sudah tidak dapat kutahan, hingga akhirnya aku benar-benar terlelap.

Posisi duduk yang kurang nyaman membuatku terbangun beberapa kali. Aku menguap. Kantuk berat kurasakan, tapi mata menolak terpejam. Seseorang mencolek bahuku dari belakang, akupun menoleh.

"Karissa?"

CINTA UNTUK KARISSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang