Prolog

15 0 0
                                    

         Suara riuh itu terdengar kembali. Tangan-tangan itu saling bertautan dari jauh. Aroma yang selalu tidak ingin kudapati menyeruak kembali. Irama benda-benda itu seakan mengejek emosiku sedari tadi. Beberapa kali kucoba menggigit bibirku sendiri sebelum sebuah tangan tiba-tiba mendarat di wajah seseorang. Tepat di samping kananku.

"Plaakkkkkkkkkkkkkkkkk"

          Beberapa isakan kudengar samar, kemudian perlahan menjauh. Aku tidak bisa melihat. Gelap. Sangat gelap. Sekarang yang kudengar hanyalah benda-benda yang kubenci bernyanyi-nyanyi. Kutahan napasku sekuat tenaga, lalu kuhembuskan pelan. Dan, hening.

●◌●

"Woyy jangan cepet-cepet"

          Sebisa mungkin aku berteriak kepada seseorang yang berlari di depanku. Kulihat banyak sekali keringat mengucur di dahinya. Napasnya tersengal-sengal. Beberapa kali ia berhenti lalu membungkukan badan. Lima laki-laki berbadan kekar sudah menunggunya di depan sana. Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Tidak butuh waktu lama beberapa pukulan mendarat di perutnya.

Aku menggigit bibirku saat ia menoleh ke arahku dengan dahi yang sudah berlumuran darah entah sejak kapan. Ia menautkan alisnya, memberiku isyarat untuk segera berlari.

Aku berlari sekuat yang aku bisa. Kakiku bergerak tak tentu arah. Sebisa mungkin aku mencari arah putar balik agar tidak tertangkap. Hingga aku menemukan sebuah tangga yang tanpa pikir panjang aku naiki.

Tangga itu, tidak membawaku keluar dari zona ini. Sekarang aku disini. Aku hanya berada ditempat lebih tinggi darinya tepatnya di sebuah loteng tua. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan melihat ia dibawah sana bertarung sendirian. Tanpa sadar air mata sudah membasahi pipiku. Kulihat beberapa kali ia melawan, tangannya semakin terguntai lemas. Kelompotan itu perlahan mundur satu persatu saat melihat ia sudah tidak bisa melawan lagi. Saat itu juga aku berlari turun ke tempat itu. Entah bagaimana kakiku bisa bergerak lebih cepat. Kutopang dia sebisaku ke tepian jalan.

"Sakit nggak?" Tanyaku sambal menyejajarkan kedua kakinya.

Tidak ada jawaban darinya, ia hanya menarik napas Panjang kemudian memeluku. Kubalas pelukannya lebih erat.

Kami menangis bersama. Sesaat sesudah itu, rintik hujan mulai membasahi tubuh kami.

●◌●

Perlahan kubuka kedua mataku, kemudian kudapati seberkas cahaya yang menyilaukan mata. Ada goresan luka baru sepanjang 5cm di bawah siku kananku. Kutengok seseorang disebelahku. Bapak. Ia sedang duduk di kursi samping ranjangku. Aku mencoba mengangkat kepalaku namun terasa pusing sekali. Aku merintih kesakitan.

"Kenapa nduk? Sudah sudah tidur saja"

Bapak membenarkan bantalku dan tersenyum bersama matanya yang sayu. Aku tahu persis Bapak pasti menangis semalaman.

"Pak kenapa aku dibawa kesini? Bukan ini tempatnya kalau aku sakit, Pak. Aku ingin ke tempat yang wajar. Paling tidak bawa aku pulang, Pak"

Percakapan kami berakhir hening. Bapak tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya membenarkan selimutku lalu beranjak pergi.

Aku melirik bungkusan bening di sisi kiri ranjangku. Aku berdecak sedikit kesal.

"Morfin"

●◌●

Hihihi Penasarann kann?? Samaa Author jugaa kalo baca ulang kayak merangkai berbagai macam pertanyaan di kepala. Duh duh duhhh. Gimana hayoo kira-kira lanjutann ceritanyaa??

Hohoho Aksata akan publish tiap 💜Senin
💙Rabu
🧡Sabtu
Yeyeyeye 😻 (semoga author ga sibuk dengan tugas-tugas mendadak biar bisa update terus :') )

Simakk terus ya ceritanya, jangan lupa add to library kalian 🙈

Oh iya kalo ada kesalahan kata, kalimat, atau apapun boleh banget dikomen buat jadi kritik dan saran 🤓 tentunya sangat membantu yaaaa...

Salamm hangatt dari Akuuuu😺

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Titik.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang