Waktu terus berjalan, awal februari dimana bulan ini adalah bulan kelahiranku dan bulan yang paling menyakitkan yang pernah terjadi. Sudah kurang lebih dua minggu Matt sikap nya berubah, cuek, dan sering meninggalkanku. Matt berubah. Matt sering kali memainkan ponselnya dikelas bahkan ketika ada guru ia juga memainkan ponsel nya, ada dunia nya diponsel itu dibanding dengan mengobrol denganku seperti biasanya. Aku terus perhatikan Matt, selalu ia pulang terburu-buru, senyum-senyum di depan layar ponselnya.
Ada apa dengan nya? Apa mau nge prank aku karena bulan ini aku berulang tahun? Ku rasa tidak.
Matt menjauhiku.
"Bianca?" Salma menepuk pundakku.
"Eh sal, bikin kaget aja." Ujarku langsung tersadar dari lamunan-lamunan yang ku buat.
"Lu sama Matt lagi musuhan? Kok dia ngga pernah bareng lu lagi? Sampe pindah tempat duduk lagi, kenapa? Cerita sih sama gua" Tanya Salma dengan rasa penasarannya.
"Ngga, gua ngga musuhan."Jawabku dengan ketus.
"Matt kayaknya lagi deket sama kakak kelas deh, Bi." Ceplos Salma yang membuatku kaget, "SERIUSAN SAL?" suara ku meninggi setelah mendengarkan itu.
"Ett, biasa aja dong mba. Ngga tau juga sih, tapi akhir-akhir ini dia suka duduk dan ngumpul sama kakak kelas cewek." Salma makin memperjelas.
"Dimana?"
"Sisi lapangan itu loh, Bi. Tau kan lu disitu isinya kakak kelas hits, dan gua suka liat Matt disitu. Kayaknya emang dia lagi deket, tapi gua ngga tau dia lagi deket sama kakak kelas yang mana." Ucap Salma yang membuatku terdiam.
"Dahlah biarin, kerjain nih tugas Bu Fika dikumpulin sekarang loh, Bi" Sambung Salma sambil mengasih tugas dari Bu Fika.
Bener kata orang-orang, kalau berharap lebih sama orang, pasti ujungnya kita bakal menelan rasa kecewa yang mendalam.
"Bianca? Kok lu diem sih?" Salma mengagetkan ku untuk kedua kalinya.
"Eh? Iya gua kerjain."ujarku dengan nada sedikit lemas.
--------------------------
Sudah tiga puluh menit aku menunggu dikantin sekolah yang semakin lama semakin sepi. Mbak popi sudah mengepak barangnya untuk pulang, mbak popi tersenyum manis kepadaku, berpamitan pulang untuk pulang kerumah. Tanpa sadar aku memperhatikan mbak popi yang berjalan menjauh dari kantin dan akhirnya hilang dari gerbang sekolah. Tidak biasanya orang tuaku telat menjemput begitu lama, ah mungkin jalanan disana macet. Tiba-tiba Salma datang dengan terburu-buru, baju berkeringat, dan napasnya tidak beraturan. Mungkin karena Salma datang kesini dengan berlari.
"Bi .. Bi.." ucapnya ngos-ngosan. "Itu.. lu harus liat ke sisi lapangan, ayo buruan, Bi.." sambung salma dengan napas yang belum teratur.
"Ada apa sih, Sal? Coba deh tarik napas dulu, baru ngomong." Ucapku kebingungan.
Salma menarik napas, "Matt nembak Ka Renata di sisi lapangan itu, Bi..."
Mendengar itu, rasanya aku ingin hilang saja dari bumi ini.
Matt nembak cewek lain,
Matt punya pacar,
Aku ini apa? Ah ayolah, ngga mungkin Matt punya pacar.
"Bi... lu gapapa kan?" Ucap Salma memelukku, "gua tau ini berat, Bi..."
Pikiran ku benar-benar kacau, aku ingin melihat kejadian itu, tapi aku tau sakit rasanya. Pikiranku sudah mengatakan aku harus pergi melihat Matt disana, tapi kaki ku terasa berat. Dan aku tak sanggup melihatnya.
Tapi aku harus melihat kebahagiaan Matt. Harus.
Aku melepas pelukan Salma, "temenin gua liat, Sal." Aku langsung menarik tangan salma dan melangkah kaki ku menuju sisi lapangan itu.
Dari kejauhan, aku melihat Matt memegang bunga mawar, dan memegang tangan Ka Renata, sungguh, ini menyakitkan.
"Terima!Terima!Terima!" dari kejauhan aku mendengar teriakan teman-teman Ka Renata. Wajah Ka Renata memerah, air mata menetes di pipinya, sepertinya Ka Renata akan menerima Matt.
"Nat... Plis terima aku." Matt semakin erat memegang tangan Ka Renata.
Plis, jangan diterima. Batinku
Lima detik kemudian,
"Iya, aku terima." Jawaban Ka Renata membuat hatiku semakin hancur.
Bodoh, liat ini sama aja nyakitin diri sendiri.
Aku masih mematung melihat kejadian itu, aku bener-bener ngga tau harus berkata apa dan melakukan apa. Bulan ini membuatku hancur.
"Bi... sabar ya, semua ada masanya," Salma mencoba menenangkanku.
"Iya, Sal. Gua yang berlebihan aja."jawabku berusaha tegar melihat kejadian ini.
"Ortu lu udah di depan gerbang, pulang yu. Gua anter sampe depan gerbang ya." Salma menemani ku sampai depan gerbang, namun aku melihat Matt sudah terlebih dahulu didepan gerbang dengan motor classicnya, dia membonceng Ka Renata. Padahal dulu yang berada di jok belakang adalah aku.
Aku mencoba melewati Matt yang sedang berhenti di depan gerbang. Sialnya, Matt menyapaku.
"Bianca, Salma, tumben lu berdua baru pulang." Aku bersikeras untuk tidak melihat wajah Matt. Tetap saja, ini kebahagian Matt, aku juga harus bahagia.
"Iya nih, biasa ortu gua lama jemputnya," ucapku berusaha tegar.
"Matt, selamat ya udah jadian sama Ka Renata." Suaraku gemeteran, " Ka Renata juga selamat ya, semoga kalian langgeng." Sambungku semakin tidak karuan perasaanku.
"Makasih, Bianca." Ucap Matt tersenyum lebar.
Matt bener-bener bahagia dengan Ka Renata.
Salma ngga tega denganku, "Hm, udah ya, Matt. Gua sama Bianca mau balik. Bye" ucap salma sangat ketus.
Matt bingung dengan sikap Salma yang tiba-tiba ketus, tapi Matt tidak mempersalahkan itu. Hal terpenting Matt ialah sudah memiliki Ka Renata.
Aku menaiki mobil,"lu gila ya? udah tau sakit hati, tetep aja ngucapin selamat. Ngga abis pikir. Pikirin perasaan lu, Bi." Omel Salma.
"Gapapa, Sal. Kebahagian Matt, kebahagiaan gua juga." Ucapku melihat keluar dimana mobil ini sudah berjalan perlahan-lahan.
"Gila lu."
Kita suka sama seseorang, bukan berarti kita juga harus memiliki nya. Bener kan?
Aku menyukai Matt, dan nyatanya Matt bukan milikku.
Kamu bahagia, aku juga turut bahagia, Matt.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET ADMIRER
ContoAku menyukaimu sejak awal pertemuan itu. . Aku menyukai segala apapun tentangmu. . Aku menyimpan perasaan yang begitu dalam. . Aku membuatkan luka pada diriku sendiri. . Aku si pemuja rahasiamu sejak lima tahun belakangan. . Aku yang takkan pernah...