Seperti di novel dan film-film yang banyak kubaca dan kutonton, akhirnya kurasakan juga bagaimana rasanya menjadi anak baru.
Seragam kemeja putih yang bersih dari lambang, rok abu-abu yang masih licin, tali pinggang, dasi dan topi. Lengkap sudah. Cara memandangku yang kebingungan tanpa senyum, sudah menjadi perhatian minoritas murid. Terlebih, kakakku Delina yang menuntunku.
Dari SD hingga SMA-ku yang lama, pertama kalinya dan akhirnya aku bersekolah dan resmi menjadi murid dari sekolah Negeri. Wajah-wajah murid nampak lebih natural. Setidaknya hanya satu dua orang bahkan lebih tepatnya minoritas mereka kudapati memoleskan lip tint, lip cream, dan jenis lainnya di bibir. Dan dilihat dari lambang, mereka didonimasi kelas 12. Maklum pikirku, mereka sudah menjadi kakak kelas yang tertua di SMA.
"Harusnya gak dateng pagi-pagi amat. Kan mereka mau upacara. Gue pastinya gak tau mau barisnya di mana," ucapku pelan dari samping ke Delina kakakku yang tiap harinya mengenakkan seragam dinasnya.
"Disuruhnya dateng pagi."
Kuhela napas. Mataku liar ke sana kemari. Bel listrik seketika berbunyi sontak membuatku terkejut saat berjalan di koridor kelas hendak melewati bel listrik yang menempel di langit plafon teras kelas.
"Udah mau baris," peringatku pada Delina.
"Gue alumni di sini, adikku sayang. Jadi gue tau tradisi sebelum mau apel. Ini tuh Indonesia disuruhnya kumpul cepet tapi mulainya setengah jam kemudian."
Aku tertawa geli. "Gak sama dengan sekolah Swasta situ yang lama."
Aku memutar mata saja kala harus menanggapi. Suara salah seorang anggota OSIS berkumandang memanggil guna memulai upacara di hari senin. Suaranya terdengar di setiap speaker dalam kelas yang kami lewati. Para anggota OSIS menyebar ke seluruh kelas untuk memanggil mereka secara langsung. Namun, lucunya murid-murid tak kunjung keluar dan mereka pun serentak berlarian kala guru-guru piket mulai berpatroli dengan teriakan beserta dahan kayu yang dipatahkan asal melayang bebas.
Aku tertawa melihat suasana seperti ini. Well, selamat datang di SMA 3, Adel. Sekolah yang juga menjadi salah satu sekolah terbaik Provinsi Ibukota dan saingan akademik juga non-akademik sekolah yang lain juga SMA-ku yang lama.
Yang katanya amat dipuja-puja oleh bapak-bapak dan ibu-ibu untuk mendaftarkan anak mereka namun, realitanya, yah seperti ini. Setidaknya aku menyukai kealamian segala yang kulihat dan kurasakan.
Mereka mulai berdatangan di lapangan upacara sekolah. Ramai, dengan banyaknya gerombolan-gerombolan yang menampakkan wajah kesal di hari senin, candaan yang terdengar hingga tawa-tawa yang mengudara di pagi hari. Aku tersenyum dan menjadi sedikit tidak sabar.
"Ayo cepet," ajakku segera.
"Emang tau mau ke mana?"
"Cari tante Arin, kan?"
Delina pun mengangguk dan merangkulku. Kami mempercepat langkah yang kata Delina kami sedang menuju ruang guru berada.
"Assalamuallaikum tante Arin," sapa Kakakku segera kala kami mendapati sepupu ibu kami.
"Waalaikumussalam. Halo sayang!"
Aku menyalimi tante Arin. "Kamu bentar kelas XI 4 ya?"
"Lah kok?" Aku bingung sendiri kala tanteku itu mengatakan langsung kelasku sebentar.
"Gak usah dipikirin. Syukur aja kamu. Cih, untung aja ada orang dalem," tukasnya bercanda. Aku terkekeh meladeni.
"Jadi...."
"Jadi apa? Yah langsung baris di kelasnya," jelas tante Arin dengan gaya khas anak muda di umurnya yang akan menginjak 40 tahun.
"Tapi...," sanggahku menggantung. "Aku gak tau barisan kelasnya di mana."
"Yah tante anter lah." Tante Arin lalu menarik tanganku seperti anak kecil. "Dah, dah. Buruan berangkat kerja. Gak usah pikirin ini biksu satu. Tante yang urus. Bye Delina!"
Kakakku tertawa saja lalu melambai dan meninggalkan ruang guru di pintu yang berlainan arah.
Tanganku ditarik buru-buru. Aku melangkah cepat tidak karuan berusaha mensejajarkan langkah dengan guru Biologi kelas X ini. Murid-murid yang sudah berdiri di barisan kelas mereka masing-masing melihatku kebingungan dan penasaran.
Kami berjalan tepat di tengah-tengah lapangan upacara yang tersisa. "Ya Allah, gue gak kuat," lirihku dalam hati. Mimikku sudah seperti anak pasrah dan cukup menahan malu sebab mayoritas ratusan pasang mata menujukan mata padaku.
"Anak kelas XI MIPA 4! XI MIPA 4 mana?" Tanyanya dengan suara yang sedikit tinggi.
Aku hanya mengikut saja kala tangan bibi Arin mulai melepasku memberi ruang.
"Di sini Bu!" Satu dua orang menyahut lalu semuanya mengangkat tangan buru-buru memberi kode petunjuk.
"Ini murid titipan ibu,ya? Dia anak baru di kelas kalian. Ibu udah bicara sama wali kelas kalian, Bu Desi."
"Oh iya bu," jawab anak salah seorang perempuan yang tubuhnya paling mungil di barisan yang paling depan.
"Ayo Del, kamu langsung gabung aja. Nanti selesai upacara, ikutin yang lain aja ya, ke kelasnya?"
Aku dengan kaku dengan bibir yang kurasa kaku mengangguk lalu menjawab, "iya bu." Aktingku menyebut tante Arin dengan 'bu' membuatnya segera memberi jempol lalu meninggalkanku.
"Permisi," ucapku pelan kala aku menerobos barisan.
Canggung rasanya. Seketika sisa murid kelas lain tak lepas mengarahkan mata padaku. Belasan menit telah berlalu juga apel belum dimulai, akhirnya lamban laun mereka mulai mengacuhkan keberadaanku.
Aku berusaha untuk tidak menoleh ke samping dan ke belakang untuk melihat teman-teman kelasku ini nantinya. Rasanya canggung sekali. Gelagat tubuhku kaku belum menyesuaikan.
Lalu bahuku ditepuk sontak aku menoleh dengan cepat ke belakang. "Tas lo dilepas dulu," ucap anak perempuan berambut ikal yang berbaris tepat di belakangku.
"Taruhnya di mana?" Aku meringis saat sadar memang aku masih menenteng tas.
"Di belakang aja. Tuh di teras kelas sana sama kayak yang laen," jawabnya sembari menunjuk tempat yang dimaksudnya.
"Oke. Jagain tempatnya, ya?"
Anak itu mengangguk saja sembari menyunggingkan senyum tipis. Aku kembali menerobos barisan menuju ke belakang untuk menyimpan tas di teras salah satu bangunan sekolah yang menampakkan banyaknya tas-tas yang tertumpuk bagi murid-murid yang hampir terlambat dan tak ada waktu menyimpannya di kelas.
Aku berlari kecil dan segera menyimpannya seperti yang lain di teras salah satu bangunan sekolah.
Batuk seseorang membuatku menoleh begitu saja. Yang kudapati dari suara itu berasal, seorang murid laki-laki dengan tinggi badan yang terlampau menjulang dengan bentuk tubuhnya yang sangat ideal.
Rambutnya terpangkas rapi layaknya tentara. Kulitnya seperti telah banyak melewati segala kegiatan di bawah matahari-- menghitam namun pada dasarnya anak laki-laki itu memiliki kulit yang putih.
Dia menyimpan tas di teras sama sepertiku dan yang lainnya. Jarak di antara kami 5 meter membatasi.
Tak lepas memandangnya ... lalu mata kami pun menyatu sebab dia sadar aku sedang memperhatikannya.
•°°°•
Aloha! Alhamdulillah bagian tiga udah selesai lagi :D. Berikan komentar dan kalau kalian suka berikan bintang jika berkenan. Sampai jumpa di 4!
Nj
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...