Aku terbangun oleh dering ponsel yang teramat bising. Ada kesal terasa saat kusadari bunyinya yang memekakkan telinga dan menyebabkan kepala pening. Mengganti nadanya adalah pilihan tepat dan aku pun langsung menyetel ulang di pengaturan profil.
Pelipisku berdenyut sakit, tujuh panggilan tidak terjawab dari kekasihku. Pasti dia bakal ngambek seperti kemarin, pikirku seketika. Belum sempat kutelepon ulang, ponselku berbunyi lagi. Kali ini pesan masuk di salah satu aplikasi Messenger yang kupakai, masih dari kekasihku. Isinya membuat perutku mendadak kram. Entah karena lapar atau karena pesan beruntun yang baru kubaca, ternyata sudah sejam lalu dia terus mencoba menghubungiku.
Nata, dia gadis yang kini kucintai. Dua bulan aku terus mendekatinya dan sudah tiga bulan berjalan sejak pertama kami meresmikan hubungan. Bagiku bisa mendapatkannya adalah sebuah keberuntungan yang langka. Dia putri semata wayang seorang pengusaha mebel ternama di Tokyo. Jika dibandingkan dengan aku yang tidak punya apa-apa jelas bagai sebuah mimpi, tapi itu kenyataannya. Dia menerimaku sebagai pria yang akan selalu di sisinya, kuharap demikian.
Naru, aku harus pergi ke butik Madam Evelyn hari ini, jemput aku ya. Aku sedang bersiap-siap.
.....Oh iya, hampir lupa, penampilanmu tidak boleh lusuh. Aku tidak mau dengar alasan apa pun. Orang-orang akan bertanya siapa pria yang bersamaku, kau sudah tahu caranya membungkam mulut mereka. Jadi jangan lagi beralasan di depanku.
.....Sayang, kenapa tidak membaca pesanku? Kau masih tidur ya? Ini sudah jam 11 siang.
.....Naru, kau tidur seperti mayat. Tidak usah bangun sekalian, tidur saja sampai besok pagi. Kau menyebalkan!
.....Sudah setengah jam aku menunggu di sini, kau pasti masih tidur 'kan?
.....Apa yang kaulakukan tadi malam? Kau begadang lagi? Kerja tidak bisa dijadikan alibi. Banyak pekerja bisa mengatur jadwalnya, tidak termasuk dirimu. Kau lamban!
....."Tidak usah datang. Ada Kenji yang mengantarku!"
....."Uzumaki Naruto! Aku tidak mau bicara denganmu, hari ini jangan temui aku!
.....Tak jarang tingkahnya sering membuatku tertawa. Terkadang dia aneh, tiba-tiba marah, lalu merajuk dan dalam hitungan jam dia bersikap manis. Aku jatuh cinta padanya, bukan hanya sekadar cinta sementara, andai takdir berpihak kepada harapanku, yang kuinginkan adalah bentuk cinta yang sempurna.
Aku memahami beberapa konsep cinta. Ada beragam jenis cinta di dunia, ada yang hanya berlandaskan nafsu, ada cinta main-main, ada cinta melengkapi, cinta sempurna, mereka terlalu banyak sampai aku tak bisa mengingat sepenuhnya dalam hal ini. Tapi sejauh pengamatanku, sepasang manusia sering terjebak ke dalam cinta nafsu dan mereka yang baik akan berada di cinta saling melengkapi, yang beruntung mendapatkan cinta sempurna.
Barangkali agak sulit meraih kesempurnaan untuk orang-orang dengan segala keterbatasan layaknya diriku. Aku hidup sebatang kara di kota besar ini, tanpa satu pun keluarga yang dapat kukenal, atau kuingat. Karena sejujurnya aku tak tahu siapa kedua orang tuaku, selain aku dibesarkan di sebuah yayasan sosial di Sagamihara. Entah bagaimana keadaan panti itu sekarang, karena sejak berusia 15 tahun, aku memilih pindah ke ibu kota. Kesibukan menyebabkanku jarang punya waktu luang untuk bepergian jauh.
Baru satu kakiku yang turun, bunyi ponsel menggagalkan niatku ke kamar mandi. Aku membaca pesan Nata; Satu jam lagi harus sudah sampai, aku ingin pulang denganmu. Sekali lagi, gadisku itu selalu bisa membuatku heran, tapi juga gemas secara bersamaan.
-----
Naru keluar dari kamar mandi dengan tubuh setengah kering. Rambut cepaknya mengkilap, masih berair. Dia bergeser ke tempat tidurnya, memerhatikan satu set pakaian yang tadi dia persiapkan dan itu adalah kostum terbagus.
Teringat ucapan Nata, jika mungkin orang-orang akan menanyakan perihal pria yang bersamanya.
Naru tiba-tiba terkekeh kemudian mengembus napas ringan. "Aku bukan siapa-siapa, hanya kurir biasa dan pelayan kafe. Mereka pasti tertawa mendengar kekonyolan ini, tapi inilah yang terjadi." Selagi dia mengoceh atas nasibnya, Naru mengenakan kaus polos hitam berikut celana abu-abu jenis cargo, celana dengan banyak kantung di sisi-sisinya.Siap memandang diri di cermin gantung, memastikan penampilan sudah pantas, Naru melirik arloji di pergelangan tangannya. Beruntung jadwal kerjanya dimulai dari siang hingga menjelang pagi. Dari pukul dua hingga enam sore, lelaki itu bekerja sebagai kurir di salah satu perusahaan ekspedisi. Malamnya menjadi pelayan di kelab milik seseorang yang sudah dikenalnya lama.
Bekerja keras untuk menghidupi diri, menggapai tujuan di masa depan. Sejauh ini dia mampu mendapatkan Kawasaki Ninja 250L dari hasil jeri payahnya, selain itu dia bisa meneruskan pendidikan sarjananya di program studi Teknik Sipil dan kini Naru tengah mempersiapkan tugas akhirnya sebagai mahasiswa di Todai.
Motor sportnya terparkir di lahan khusus sebelah kiri gedung apato. Naru hendak terburu-buru agar bisa tepat waktu tiba di butik. "Naruto!"
"Hoi, Choji!" Naru menoleh, refleks menyapa ramah tetangganya.
"Kau ke mana saja? Aku sudah lama tidak melihatmu." Sambil mengunyah kue dango di tangannya, lelaki tambun itu sedikit menanyakan keberadaan Naru yang belakangan hari sangat jarang terlihat.
"Aku kerja hampir seharian penuh. Banyak tugas juga di kampus." jawab Naru berterus terang berikut senyum simpul di wajahnya.
"Pantas saja. Kapan-kapan, maksudku jika kau sudah lebih santai. Ayo, kita pergi minum sake di tempat biasa. Aku yang traktir, gajiku lumayan sekarang." Naru mengangguk singkat sambil menepuk pundak si lelaki bertubuh gemuk.
"Tentu! Tawaranmu bagus juga. Omong-omong, selamat untuk kenaikan gajimu, ya. Sampai nanti." Choji mengangkat sebelah tangannya, mengiringi kepergian Naru.
-----
Sepuluh menit duduk di atas jok, motornya berhenti di depan butik. Lebih baik daripada membuat kekasihnya yang kembali menunggu. Sudut-sudut bibirnya naik, ketika mendapati Nata keluar dari gerai pakaian mewah tersebut. Gadisnya itu benar-benar memesona. Tubuh mungil, rambut panjang bergelombang, kulit pucatnya justru menekankan betapa cantiknya dia.
"Kau lama sekali!" Nata langsung memukul lengannya dengan muka cemberut. Tak ayal Naru tersenyum geli di tempatnya.
"Naiklah! Mau kuantar pulang sekarang?" Nata kembali memukulnya, kali ini agak keras di punggung dan Naru sedikit mengaduh. "Ada apa? Kau mengerahkan seluruh tenagamu untuk melakukannya? Bagaimana tanganmu?" Naru melirik kekasihnya dengan tawa meledek. Sementara Nata, tengah mengamati telapak tangannya yang memerah, terasa panas.
"Kau tidak suka bertemu denganku? Setiap kali kuminta di antar pulang, kau pasti benar-benar ingin mengirimku pulang. Ini hari sabtu, kau dan aku tidak ke kampus. Kenapa tidak membawaku pergi?" Hinata menghardik agak keras, wajahnya semakin merengut. Tapi Naru hanya diam, lalu melirik arlojinya. Belum jam satu, dia pikir bisa mengajak Nata sejenak demi menyenangkan suasana hati sang kekasih.
Naru menengadahkan kedua telapak tangannya ke belakang. Gadis itu menyambut dan dia mengalungkan tangan-tangan kekasihnya ke pinggang.
"Aku tidak mau pulang." rengek Nata.
"Tidak, sebelum kita pergi ke suatu tempat. Pegangan yang kuat, ya."
Pada akhirnya sulit bagi Naru untuk menolak permintaan kekasihnya. Gadis itu diam-diam tersenyum di belakang, kemudian memeluk Naru dengan rangkulan yang erat.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
To be Lovesick ✓
RomanceHidup seorang diri, tanpa ingatan apapun tentang keluarganya. Uzumaki Naruto hanya lelaki sederhana, bekerja sebagai karyawan biasa. Bukan direktur, dokter atau layaknya para pria penakluk wanita dengan segudang kemilau harta. Tapi, takdirnya tak se...