The Red Covered Package (END)

21 5 0
                                    

This part of Story was written by Cindy Handoko

Aku tak bisa berhenti memikirkan maksud perkataan Jihyun tadi siang, bahkan hingga berjam-jam telah berlalu sejak ia mengatakan hal itu. Jihyun begitu misterius, begitu penuh intrik dan rahasia, begitu sulit ditebak. Aku bertanya-tanya apakah ia bermaksud buruk dengan perkataannya tadi itu, atau ia hanya sekadar mengungkapkan kepercayaan yang ia tahu saja.

Tapi memangnya ada apa dengan tiga bunga mawar? Hal buruk apa yang bisa diindikasikan dari bunga cantik berduri itu?

Akibat terlalu banyak berpikir dan menerka-nerka, aku jadi tidak bisa bersikap ramah seperti seharusnya. Selama makan-makan keluarga besar, aku hanya diam saja, sesekali menyunggingkan senyum simpul bila diajak bicara, dan menjawab seperlunya saja saat ditanya mengenai apa pun. Aku bukan aku yang biasanya.

Selama dua jam itu pulalah, perasaanku sudah tak enak. Aku merasa sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padaku sewaktu-waktu, bahkan di tengah keramaian dan canda tawa yang hangat. Lebih parah lagi, aku merasa diawasi di tengah-tengah acara. Hal itu membuat otakku yang–lagi-lagi–sok detektif bekerja cepat. Aku mulai menduga bahwa hal ini ada korelasinya dengan segala kejadian misterius yang selama dua hari ini terus kualami, yang melibatkan Jihyun, bunga mawar yang hari ini sering kulihat, dan juga paket serbamerah itu.

Oh, ya. Bicara soal paket, benda terkutuk itu masih nangkring dengan manis di dalam kamarku, dan belum sempat kupindahkan ke mana-mana sejak kemarin malam. Lebih tepatnya, aku tidak berani memindahkannya ke mana-mana. Habis, melihatnya saja aku takut, apalagi membawanya pergi. Bisa-bisa aku pingsan duluan lantaran terlalu gemetaran sebelum benda sialan itu sempat terpindahkan. Sebagai akibatnya, aku tidak punya cukup keberanian untuk masuk ke kamar. Kamar sementara yang kugunakan untuk "mengungsi" adalah kamar ibuku. Untungnya, dia tidak keberatan aku menyatroni kamarnya hanya gara-gara ketakutan yang tidak jelas juntrungnya. Lagipula, ayahku sedang pergi mengurus biro jodohnya yang goblok itu. Jadi, ibuku juga tidak punya teman. Mungkin aku bisa menjadi temannya selama seharian–atau beberapa hari–ini.

"Sohwa," panggilan ibuku menyentakku dari lamunan panjang. Aku buru-buru menoleh dan melontarkan tatapan bertanya-tanya. "Kau jaga rumah dulu, ya. Eomma mau mengantar imomu pulang dulu. Dia tidak bawa mobil."

**Imo : sapaan untuk bibi yang memiliki hubungan darah dalam bahasa Korea**

Oh, ya. Aku lupa. Acara makan-makan baru saja selesai dan sekarang semua anggota keluargaku yang diundang sedang bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Bibiku yang dimaksud ibu pastilah Bibi Heesun, adik bungsu dari ayahku yang belum menikah. Bibiku yang satu itu memang paling sering minta tumpangan saat datang ke rumahku. "Sohyun juga ikut?" aku bertanya.

Ibuku mengangguk. "Kau tahu, ini sudah jam sepuluh malam. Paling-paling dia mulai rewel lagi dan menolak dipisahkan dengan eomma. Kau tidak mau mendengar raungan manjanya selama berjam-jam, kan?"

Aku bergidik ngeri membayangkan adik kecilku itu menangis meraung-raung dan mencari-cari ibuku. Menyadari bahwa bayanganku rupanya sangat mengerikan, aku pun menggeleng. "Hajiman, eomma... berarti aku menjaga rumah sendirian?"

Seperti yang sudah kuduga, ibuku mengangguk. Demi Tuhan! Tidak ada yang lebih buruk daripada ditinggal sendirian di rumah saat kau sedang merasa luar biasa ketakutan. Aku merinding sendiri membayangkan hal-hal yang mungkin saja terjadi saat aku sendirian di rumah. Hantu, pembunuhan, pencurian, penyekapan... Semua bayangan terburuk langsung berkelebatan dalam otakku, dan aku mendadak merasa mual karenanya. Oh, sial. Kenapa momen ini begitu tidak pas?

"Kenapa, Sohwa?" Ibuku bertanya melihat wajahku yang mendadak pucat gara-gara anggukan singkatnya. "Kamu masih takut gara-gara mimpi buruk kemarin malam?"

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang