Nine

714 76 5
                                    

Saat ini udara begitu sejuk menyeruak, membaluti semua benda dengan rasa dingin menusuk.

Sore ini Mario sangat bahagia, karena apa?  Karena kemarin dia berhasil mempersunting Okta -wanita yang sangat dia cintai melebihi apapun-  Mario mendekat kearah Okta yang sedang berdiam diri diatas balkon kamar dan mempusatkan seluruh pandangan kearah kebun teh yang begitu luas. Hamparan hijau membentang membuat mata siapa saja begitu betah memandang.

Okta tersenyum tatkala tangan kekar itu membaluti seluruh tubuhnya dari belakang.

"aku bahagia" suara berat itu terdengar indah di pendengaran Okta "aku sangat sangat bahagia bisa dapetin kamu" Okta kian memperlebar senyumannya

Mario menempelkan dagu di sebelah bahu Okta, menghirup dalam dalam wewangian yang begitu menggilai nya. Sebelah tangan Okta terangkat untuk mengusap sayang pipi Mario.

'cup'

Okta mencium pipi Mario penuh kasih sayang, seolah dengan ciuman itu mengungkapkan setiap rasa yang ada "aku sayang kamu" Mario tersenyum lalu dengan cepat dia membalikkan badan Okta menghadap kearahnya,  lalu bibir merah muda tipis milik Okta di cumbui dengan mesra.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada seseorang yang menatap mereka penuh kemarahan dan kebencian.

Mata di balik kacamata itu menyalang geram. Rahang nya mengeras, giginya pun bersautan.

Dia Ghaiden. Laki laki yang juga mencintai Okta. 
Sama hal nya dengan Mario, laki laki ini akan memberikan segalanya untuk Okta, bahkan jiwa dan raganya.

Melihat Okta yang memilih Mario membuatnya marah tak terima. Dia kurang apa lagi menurutnya. Dia kaya, lebih kaya dari keluarga Mario, dia pandai,  dia tampan dan juga rupawan. Tapi kenapa dia bisa kalah dengan Mario? Itulah yang membuatnya jengkel setengah mati.

"lihat saja, kalian tak kan bahagia!" ujarnya ketus dan meninggalkan Okta dan Mario yang masih asik asiknya menyalurkan hasrat masing masing.

---

Veranda termenung di balkon kamarnya.  Pikirannya melayang pada obrolannya bersama Kinan beberapa minggu lalu.

Di taman belakang sekolah terlihat Veranda dan Kinan yang tengah duduk di salah satu bangku panjang di bawah pohon.

Veranda menunggu, menunggu ucapan demi ucapan yang akan keluar dari bibir Kinan.

Sedari tadi Kinan ragu untuk berucap. Kata kata yang sudah dia susun dengan apik kini menghilang entah kemana seiring dia membuka suara, suaranya seolah tersekat di tenggorokan.

"kalo ga ada yang mau di omongin mending gw pergi"  Veranda berdiri tapi di tahan cepat oleh Kinan.  "tunggu Ve"

"buruan, gw banyak urusan" Veranda pun kembali terduduk di samping Kinan dan pandangan nya lurus  ke depan.

Kinan mengatur nafas. Mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"maaf" ucap Kinan menunduk. Veranda tak bergeming.

"maaf buat semua nya Ve. Aku tau kamu jengah liat kelakuan ku, aku tahu kamu kesal terus di ganggu" Veranda membenarkan ucapan Kinan "itu tahu"  potong Veranda

"dengerin aku dulu,  Veranda"

"Oke, aku ngaku salah, aku ga pantes dapat maaf dari kamu tapi Veranda sekali ini aja kamu kasih aku kesempatan buat berubah"

D E S T I N YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang