3 Tahun Kemudian (77)

20.1K 1.5K 50
                                    

"keduanya."

"Kadang-kadang aku tidak sadar apa yang kulakukan. Saat tau,... tanganku sudah penuh luka. Atau jika dalam keadaan sadar, aku akan melakukan apapun untuk membersihkan atau mengenyahkan ketakutan itu dari tubuhku seolah itu adalah kotoran menjijikan yang harus dibersihkan."

"Apakah setelah kau melakukannya kau merasakan sakit pada luka-lukamu?"

"Entah, aku tidak merasakan sakit bahkan jika aku sudah sadar. Karena pikiranku akan dipenuhi hal lain sehingga aku tidak memikirkan hal disekelilingku."

Rama sibuk menulis sesuatu di catatannya. Kemudian menatap Yuna lagi.

"Apakah kau pernah memikirkan untuk bunuh diri?"

"Sering."

Suasana langsung hening.

"Pernah kau lakukan?"

"Dua kali. Saat SMA dan beberapa minggu yang lalu."

"Apakah kau sendiri yang mencegah sehingga tidak jadi bunuh diri atau karena hal lain?"

"Dua-duanya aku dipergoki adikku."

"Seandainya jika tidak ada yang mencegah, apakah kau tetap lanjut melakukannya?"

"Ya."

"Kau tidak memikirkan keluarga atau anakmu?"

"Satu-satunya yang dipenuhi otakku saat itu, hanya kesakitan. Aku tidak bisa memikirkan hal lain. Rasa takut itu menekanku begitu kuat. Sehingga tidak ada yang terpikir selain untuk menyingkirkan jijik dan sakit ini bahkan hingga mati."

Juna memejamkan mata. Kepalanya menunduk. Lalu ia mengusap kasar wajahnya menyiratkan betapa bersalahnya dia.

"Apakah pikiran itu masih ada?"

"... Aku tidak tau... Saat ini aku ingin hidup bahagia dengan anakku."

"Apakah ketakutan melihat Juna itu masih ada?"

"... Untuk sekarang tidak. Aku benci melihatnya."

"Ketakutan-ketakutan yang lain?"

Yuna mengangguk, "Masih ada."

Rama mencatat lagi.

"Untuk sesi hari ini sudah cukup. Untuk hasilnya nanti saya akan kabari lagi. Aza sepertinya sudah bosan juga disana."

***

"Aza lapar?"

"Iya."

"Boleh kita makan dulu di luar?"

Yuna mendiamkan. Baru saat Aza ikut meliriknya dan memanggilnya. Yuna menarik napas tanpa membalas tatapan Juna. Ia menjawab.

"Boleh, tapi aku yang menentukan tempatnya. Dan tidak ada makanan mewah ataupun tempat mahal. Jadi, kalau tidak suka ditanggung sendiri. Satu lagi, kau yang bayar."

Juna mengukir senyumnya, "Aku siap."

Yuna memilih sebuah warteg sederhana, di pinggir jalan dengan tenda kecil. Di sana berjajar kursi panjang dan meja panjang. Beralas tanah. Dengan debu jalanan dan suara kendaraan di samping mereka. Juna menyaksikan keramaian itu. Dimana orang-orang menyantap makanannya dengan kondisi seadanya. Asap mengepul di tempat masak.

Juna beberapa kali mengibaskan tangannya untuk mengusir lalat-lalat yang mampir di meja mereka. Panas dan sesekali angin membawa debu membuatnya menutup hidung. Juna tidak bisa berkata-kata.

"Kenapa? Tidak suka?" Tanya Yuna melihat reaksi wajah beragam Juna.

"Tidak, " Juna cepat menggeleng, "aku hanya kaget."

"Mau pesan apa?"

"Disini ada apa?"

"Ayam bakar, ayam goreng, ikan gurami goreng, gulai , pepes ikan, ikan sabal, ayam geprek."

"Pesan ayam bakar, ayam goreng, sama ayam geprek. Masing-masing dua."

"Baik, mbak. Nasinya?"

"Aza mau nasi apa?"

"Nasi goreng telur mata sapi."

"Nasi goreng sama nasi putih. Minumnya, dua es jeruk."

"Kalau suaminya?"

Krik...krik...krik...

Baru Yuna mau menyanggah,"Dia bu---"

"Nasi goreng sama telur saja. Dan aqua botol." suara Juna sudah menginterupsi duluan.

"Tunggu sebentar."

Yuna dan Juna saling tatap. Mata Yuna menyorot tidak suka lalu cepat-cepat membuang wajahnya. Sementara Juna... laki-laki itu diam... Dan tersenyum kecil.

"Suami itu apa, Bu?"

***
21 Januari 2020
Vote dan komen 😉

Suka misteri, bisa baca RED by putra_syah06 dan suka komedi bisa baca Keluarga Bayaran. Suka riddle baca deh ceritanya putrasyah06

Tiga tahun [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang