Terik matahari tak membuat senyum Alin pudar. Padahal sekarang ini ia mengenakan kendaraan bermotor dan jalan raya pun tengah dilanda kemacetan. Namun dengan hati gembira dan senyum secerah mentari ia berusaha sabar mengendarai motor ditengah kemacetan.
Semua itu tak luput karena ia baru saja selesai interview dan HRD Kembang Publisher mengatakan bahwa lusa ia sudah diperbolehkan untuk mulai berangkat.
Kelihatannya mudah kan? Interview satu kali dan lusa sudah bisa mulai bekerja. Itu karena Alin memiliki banyak pengalaman tentang dunia sastra. Selain aktif di blog ia juga memiliki dua karya tulis yang sengaja di rahasiakan identitas penulisnya. Dan tentu saja Alin langsung di terima karena ia lulusan dari jurusan sastra bahasa Indonesia. Akhirnya.. ia memiliki pekerjaan yang seimbang dengan jurusannya.
Menjadi seorang editor penerbit buku adalah pangkat Alin nanti lusa. Aaahh.. akhirnya ia bisa lepas juga dari profesi penganggurannya yang membosankan itu. Bosan karena harus menjemput Citra pulang sekolah dan bosan karena seringkali bertatap muka dengan adik bungsunya itu. Sungguh, wajah bulat adiknya itu sangat mengganggu mata. Apalagi suaranya, bikin telinga perih saja.
Tiba dirumah, Alin memasuki rumah sambil mulutnya sesekali bersenandung riang. Ia menghampiri ibunya yang tengah menata barang belanjaan kedalam kulkas.
"Maa," panggilnya manja.
"Eh? Udah pulang Mbak? Gimana interviewnya?" Respon Nawang tanpa repot-repot menoleh ke lawan bicara.
Alin duduk di kursi meja makan, mencomot buah anggur dimeja dan memakannya tanpa cuci lebih dulu. "Lancar. Lusa aku udah bisa mulai kerja."
"Syukurlah, Mama lega kalo gitu. Terus berangkatnya kamu niatnya nanti mau pake apa?"
"Motor ajalah, Ma. Nggak sanggup aku kalo harus pake mobil. Maceeet banget. Tadi pagi aja aku berangkat pagi banget sampai sana jam setengah delapan. Untung nggak terlambat." Adunya sambil bersungut-sungut sendiri.
Setiap pagi memang jalanan selalu selalu ramai dipenuhi oleh para pekerja yang akan berangkat mencari pundi-pundi rupiah. Belum lagi anak-anak sekolah yang kalau naik kendaraan suka seenaknya sendiri. Tadi pagi hampir saja Alin menabrak pengendaranya motor didepannya karena pengendara motor dibelakang melewatinya begitu saja, padahal keadaan sedang padat-padatnya.
"Nanti Mama tanya Ayah kamu dulu, enaknya gimana. Siapa tau kamu nanti dianter Ayah sekalian."
"Lawan arah keleussss.."
"Jangankan yang lawan arah. Yang balik arah aja Ayah kamu anterin. Ingat waktu Aiden masih kelas sepuluh? Kan Ayah yang nganter setiap hari. Padahal balik arah."
"Pokoknya aku mau naik motor sendiri aja! Ogah banget dianter kayak anak Sultan aja. Mending juga kalo dianterin sama Mas Ilham, aku mau banget."
"Dianterin Ilham?"
"E-eh, maksudnya, iya. Kalo dianterin Mas Ilham ya aku nggak akan nolak lah. Kita bisa ngobrol masalah kerja, gimana cara kerja yang baik gitu. Kalo sama Ayah kan pasti diem-diem bae! Sekali ngomong paling cuma nyuruh pake seatbelt."
"Ooh, kirain kamu naksir sama Ilham. Jangan naksir sama Ilham Mbak, dia udah ada gebetan kayaknya."
"Kata siapa?"
Nawang beranjak dari jongkoknya dan beralih duduk disebelah Alin sambil bersiap memotong sayur untuk menu makan siang. "Bundanya Ilham. Tadi kita ke pasar bareng terus Jeng Irma bilang kalo kemarin sore Ilham pulang bawa cewek. Eeeh.. ternyata cewek yang dibawa Ilham anaknya Pak Sunyoto. Si Sania."
Rasanya Alin ingin sekali menutup kedua kupingnya dengan headset atau kapas agar suara mamanya yang bicara masalah gebetan Ilham tidak bisa ia dengar. Jujur, ia malas mendengar berita itu. Iya, ia sudah tau. Alin tau betul cewek yang dibawa Ilham kemarin malam. Bahkan dirinya juga sempat saling menyapa.